Membahas Tentang Seputar Ilmu Agama Islam

Pesona Peradaban Islam

Sajadah Muslim ~ Memperhatikan perkembangan dan dinamika Islam di tanah air, dan juga diberbagai  Negara terutama Amerika dan Eropa, secara spesifik yang  belakangan trending, Perancis. Islam tampaknya sedang memasuki fase baru kebangkitan. Hal itu dapat diperhatikan berbagai sisi. 


Pertama, gelombang masyarakat Eropa dan Amerika yang terus,” Berduyun-duyun” menjadi mualaf, bahkan di Perancis, Islam menjadi agama terbesar kedua negeri Napoleon Bonaparte itu.

Sebagai gelombang, tentu saja kondisi itu akan semakin besar, luas dan sangat mungkin “menggulung” peradaban materialis yang selama ini tegak berdiri di Amerika dan Eropa.

Sebab selama ini masyarakat dunia cenderung mengikuti arus informasi yang tidak berimbang, tendensius dan tidak berdasar terhadap Islam sebagai agama sekaligus peradaban.

Analisa Officer For National Statistic (ONS) menyebutkan bahwa jumlah umat Islam di Inggris pada tahun 2019 mencapai angka tiga juta jiwa. Bahkan dilansir The Sun, beberapa wilayah di London, hampir 50% penduduknya beragama Islam. Jika angka itu ditambah dengan umat Islam yang tinggal di Skotlandia dan Wales, maka total umat Islam berjumlah 3.363.210 jiwa.

Menyimak dinamika Islam yang terus berkembang di Eropa bukan tidak mungkin angka itu akan terus bertambah dan mengubah demografi negara-negara Eropa, termasuk Inggris dengan jumlah umat Islam yang kian memimpin. Terlebih di era digital, orang dengan sangat mudah mengakses informasi, kajian dan beragam hal tentang Islam secara lebih leluasa dan dinamis. 

Kedua,  Islam sebagai jalan hidup (way of life) semakin populis diberitakan dan dikonsumsi sebagai informasi yang paling hangat  menjadikan masyarakat Eropa  dan Amerika, yang notabene secara intelektual memiliki kecerdasan mumpuni dalam mencerna berbagai persoalan secara obyektif dan rasional.

Ketika masyarakat yang cerdas semakin penasaran  dan menggali Islam secara mendalam tanpa beban pretensi tertentu, sudah barang tentu ia akan melihat Islam sebagai solusi bagi kehidupan umat manusia.

Tidak heran jika kemudian, wanita seperti Silvia Constanza Romano, ketika membaca Al-Qur’an  dengan hati yang jernih, kala berada dalam “tahanan” kelompok Kenya justru tersentuh hidayah dan bersyahadat.

Kehadirannya kembali ke Italia disambut gegap gempita oleh beragam kalangan. Namun, siapa sangka, wanita yang ditunggu-tunggu itu telah menjadi seorang Muslimah dengan nama Silvia Aisha.

Ketiga,  di tingkat nasional, ulama sebagai pewaris Nabi sempat menjadi sorotan, ulasan dan kajian banyak pihak, terutama pemerintah dan penegak hukum.

Terlepas dari isu yang beredar, sorotan  terhadap ulama, secara tidak langsung, menjadikan umat Islam semakin sadar bahwa pewaris Nabi adalah lentera hidup yang umat harus mengikuti dan meneladani. Pada saat yang sama, umat lain juga mulia menyadari bahwa ulama adalah bagian penting dari umat Islam.

Keempat, Islam sebagai ajaran sangat menghormati posisi akal dan kecerdasan manusia pada posisi yang tinggi, Tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak bisa dicerna, digali, dan dijabarkan sistem penjelasnya secara rasional bahkan supra rasional.

Oleh karena itu semakin seseorang mengoptimalkan akal pikirannya, semakin terang dan tenang hatinya. Karena sifat akal  dan hati cenderung sangat ingin mengetahui, mengakui dan hidup dalam kebenaran. Mengapa  orang yang sekian lama menjadi penggiat  ajaran agama tertentu, ketika semakin hari penasaran terhadap ajaran Islam, lantas ia berpikir, merenung dan terus mencari tahu pada akhirnya tercerahkan dan bersyahadat, seperti yang terjadi pada banyak mualaf dari kalangan intelektual dan saintis dari peradaban Barat. 

Sekedar menyebut nama ada Julius Germanus yang berubah nama menjadi Abdul Karim Germanus dan Abu Bakar Siraj, Ad-Din yang sebelumnya bernama Martin Lings.

Dari keempat fakta di atas menunjukkan bahwa Islam sedang menebar pesonanya yang indah. Islam akan dipandang penting, dibutuhkan dan penting diterapkan di dalam sistem Kehidupan dunia guna menjawab segala macam bentuk krisis dan konflik untuk kepentingan negara-neraga adidaya, Islam akan dipandang dan sangat mungkin dalam beberapa dekade ke depan diterima oleh sebagian besar penduduk  bumi dan menjadi peradaban baru yang akan menjadikan peradaban Islam benar-benar bangkit dan memesona  dengan begitu indahnya.

Namun, satu tantangan yang penting dijawab oleh segenap kaum Muslimin di tanah Air adalah bagaimana potensi umat yang begitu besar dapat betul-betul didayagunakan dalam upaya-upaya konkret untuk mewujudkan umat Islam sebagai umat yang terbaik, umat yang adil dan umat yang dapat menjadi saksi bagi segenap umat manusia.

Dan untuk itu, tidak ada pilihan lain. Kecuali dengan membina silaturrahim, mewujudkan sinergi, dan lebih jauh membangun shaf (barisan) yang rapat dan solid seperti bangunan yang kokoh, sehingga umat Islam pantas dan patut mendapat cinta dari Allah Ta’ala.

Tanpa kesadaran dan kesungguhan upaya untuk itu semua, di Indonesia umat Islam boleh jadi akan stagnan dan tidak dapat berperan strategis dalam upaya ikut menjawab beragam problematika keumatan, kebangsaan bahkan penduduk dunia.

Dalam hal ini, penting bagi kita untuk merenungkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Abduh, “Islam tertutup oleh umat Islam-Nya sendiri.”

Apa yang menjadi penutup pesona peradaban Islam itu tidak lain adalah mindset, perilaku, dan orientasi hidup umat Islam sendiri yang justru tidak mencerminkan nilai-nilai Islam secara menyeluruh, seperti mudah terpecah belah, suka berdebat membesar-besarkan dalam hal furu’iyah (cabang ) hingga saling tuduh, saling stigma dan tidak  pernah mau saling memahami dan memaklumi. 

Pada saat yang sama, umat juga terus melupakan perkara-perkara prinsip, akidah-akidah dan persatuan.

Akibatnya jelas, umat islam terus tertinggal, terbelakang dalam segala bidang, sehingga walaupun mayoritas secara kuantitas, eksistensi umat ini kehilangan kualitasnya, Nabi Muhammad menyebutnya laksana  buih di lautan, yang sudah barang tentu itu akan menjadikan umat Islam terus dalam keadaan inferior dan tertinggal di saat justru Eropa dan Amerika tercelahkan oleh pesona peradaban Islam.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup

Kenapa Masih Sulit Berbagi ?

Sajadah Muslim ~ Setiap kita harus mengakui, terkadang masih timbul perasaan sulit berbagi kepada orang lain. Mengapa demikian? Ada ragam alasan bisa diberikan, salah satunya termaktub dalam firman Allah.


“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjadikan untukmu ampunan dari pada-Nya dan karunia. Dan Allah  Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] -268).

Ayat  diatas gamblang  menjelaskan, ada dua bisikan yang kerap melatari keinginan untuk berbagi kebaikan kepada sesama dan sejatinya  kegemaran berbagi ini bukan sekedar kebiasaan sesaat atau motivasi kemanusian saja. Namun lebih dari itu ada pertarungan iman yang senantiasa berseteru dengan propaganda setan.

Pertama, seruan wahyu, diyakini bahwa dibalik bantuan sedekah harta atau lainnya, maka di sana ada sehampar ampunan dari  Allah dan sebentang karunia-Nya yang tak bertepi. Allah tidak pernah lalai atau lupa. Dia pasti dibalas dengan kebaikan yang sama. Bahkan bisa berlipat ganda hingga puluhan atau ratusan kali lipat dari sebelumnya, Allah adalah ar-Razzaq, Maha Pemberi Rezeki.

Kedua, bisikan setan, sifat kikir, bakhil, ego, hingga merasa lebih baik dan individualis adalah bisikan setan. Sifat-sifat itu menjadi sarang empuk berkumpulnya virus-virus yang kerap mengotori hati manusia. Semuanya adalah musuh bubuyutan iman. Semakin sifat tercela itu dipelihara makin lemah pula imunitas iman yang dipunyai.

Disadari atau tidak, apa yang dibisikan itu oleh setan biasanya langsung menyentuh akal dan konek dengan pikiran pragmatis manusia. Yakni kekhawatiran tentang jatuh miskin dan dorongan untuk melanjutkan kembali kemaksiatan yang diperbuat.

Kalau saya bersedekah , bukankah harta itu jadi berkurang? Kalau saya membantu, tidakkah saya hanya dirugikan saja? Kalau saya memberi, lalu apa yang saya dapat nanti?

Demikian, acapkali orang itu ingin mengulur tangannya untuk berkontribusi, seketika bisikan itu datang bertalu-talu. Menghembuskan keraguan, meredupkan semangat hingga melenyapkan nyali sebagai seorang pejuang agama yang siap berkorban. Mirisnya, tidak sedikit manusia yang terperdaya, apalagi  ditambah dengan  gemerlap kehidupan materialistik dan gaya hidup hedonis sekarang ini yang seolah semakin  mengaminkan kekhawatiran tersebut.

Inilah tantangan berat seorang Muslim. Di hadapannya tersisa dua pilihan saja, kemanakah gerangan hatinya condong selama ini? Adakah ia berpihak dan memenangkan keimanan pada dirinya, ataukah justru dirinya terhempas bersama godaan-godaan nafsu yang menggorogoti jiwanya?

Berkata Imam Hasan al-Bushri Rahimatullah, aku telah membaca sembilan puluh lebih ayat al-Qur’an yang telah menerangkan tentang Allah Yang  Maha  Pengatur Rezeki dan telah menjamin rezeki tersebut untuk setiap makhluk-Nya. Sebagaimana aku juga mendapati satu ayat saja tentang godaan setan yang menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan dan kefakiran.

Tapi sungguh, aku tak mengerti, kata Hasan al-Bashri mengapa masih saja jiwa ini kecut dan takut terhadap kehidupan ini. Padahal Allah pasti menepati janji-Nya dan setan itu pasti berdusta.

Ayat di atas menunjukkan potensi keraguan manusia. Selalu ada persimpangan untuk sebuah pilihan. Apalagi pada hal baik yang memang layak diperjuangkan. Ia bukan saja sebagai ciri pemenang yang melejitkan keimanan pribadi. Tetapi juga bisa berdampak pada keshalehan sosial dan nilai-nilai positif di tengah masyarakat.

Namun berlama-lama dalam keraguan tentu bukan sikap Muslim produktif. Untuk itu Allah menutup ayat di atas dengan firman-Nya. “Dan Allah Maha mengetahui,” Bahwa apapun keadaannya selalu iman yang jadi pemenang dalam hidup.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Paradikma Berbagi

Sajadah Muslim ~ Nabi Muhammad bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api.” (HR. At-Tirmidzi)

Sekarang siapa yang dalam hidupnya bersih dari dosa? Hendak berangkat ke kantor, di jalanan  tidak sedikit aurat terbuka yang terkadang diri tak bisa berpaling dari melihatnya. Di handphone, sering juga muncul hal yang sama.


Saat bercanda, saat ngobrol, kadang tak sadar ada orang yang kita lecehkan, rendahkan, dan lain sebagainya.

Belum lagi soal lambat dalam kebaikan, shalat yang belum disiplin, hingga Al-qur’an yang jauh dari mata, tangan, dan hati. Keinginan hati yang selalu pada ketarikan yang begitu kuat terhadap materi, sehingga hati tak terasa hilang kepekaan. Ada musibah, tak peduli, ada yang kelaparan tak terpikirkan, ada yang tidak sekolah, suruh siapa miskin dan seterusnya.

Diri lupa bahwa sebagai manusia peduli itu adalah bukti iman masih hadir, nurani masih hidup.

Dan untuk menghapus itu semua, Allah berikan jalan melalui sedekah. Sedekah itu akan memberikan perbaikan dalam diri, sebagaimana air memadamkan api yang terus membakar eksistensi dan iman dalam diri.

Menariknya sedekah tak mesti harta, Rasulullah bersabda, “Kamu menyingkirkan batu, duri dan tulang dari tengah jalan itu adalah sedekah bagimu.” (HR Bukhari)

Jadi, mari kita kembali pada tata paradigma hidup ini, jangan sampai iman dalam dada tidak terekspresikan dalam kehidupan nyata, jangan sampai ibadah  yang dijalankan tidak meneguhkan iman dalam bentuk berbagi dalam ragam bentuk kepedulian.

Bukankah Allah, menjamin sedekah tidak akan menjadikan seseorang miskin?

Harta tidak akan berkurang dengan sedekah, dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya. (HR Muslim). 

Semoga Allah jadikan kita semua sebagai pribadi dan keluarga yang berparadigma berbagi, sehingga ringan infak, sedekah di jalan-Nya. Amin

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Ratusan Serangan Menyapa Muslim Jerman

Sajadah Muslim ~ Sekitar 208 serangan atas muslim di Jerman dilaporkan terjadi pada kuartal pertama tahun2017 saja. Serangan itu antara lain berupa serangan atas Muslimah yang mengenakan hijab, properti milik Muslim, surat ancaman serta serangan lewat media online.


Kepolisian dan lembaga pelindung konstitusi Jerman melaporkan bahwa 208 serangan anti Islam terjadi pada kurun tiga bulan pertama tahun 2017, lapor Neue Osnabrucker Zeitung awal bulan juni lalu.

Muslim diserang secara verbal maupun fisik karena agama yang mereka anut. Properti-properti milik warga Muslim juga dirusak oleh pelaku yang kebanyakan dari kelompok ekstrimis sayap kanan.

Menurut pihak berwenang data itu merupakan hasil analisa yang baru pertama kali ini dilakukan atas serangan-serangan yang menimpa Muslim di Jerman. Sebelum ini, otoritas di Jerman tidak pernah menganalisanya, sehingga tidak ada data yang bisa dijadikan komparasi.

Meskipun demikian menurut pemerintah, serangan atas masjid dan institusi Islam lainnya menurun dibanding periode  sama tahun lain.

Terjadi 15 serangan atas institusi Islam pada kuartal pertama tahun 2017, bandingkan dengan 27 serangan pada periode yang sama tahun 2016. Pada tiga bulan pertama tahun2015, juga terjadi 15 serangan atas lembaga-lembaga ke-Islaman.

Penurunan tampak pada jumlah aksi unjuk rasa anti-Islam, Kuartal pertama tahun 2017  tercatat 32 demonstrasi anti-Islam digelar di Jerman, jauh lebih rendah dibanding kuartal pertama tahun 2016 yang mencapai 80 serangan. Perlu dicatat, angka unjuk rasa rutin setiap pekan  yang digelar oleh Patriotische Eurppder gegen die Abendlandes (pegida) organisasi orang Eropa patriotik melawan islamisasi negara-negara Barat. Setiap hari Senin malam sejak tanggal 24 Oktober 2014, Pegida menggelar demostrasi anti-Islam di Saxony. 

Kelompok ini kemudian menyebar ke daerah lain di Jerman dan membuka cabang di berbagai negara Barat.

Menurut pakar dari Partai Kiri Jerman, Ulla Jelpke data tersebut menggambarkan fenomena gunug es, yang mana jumlah resmi serangan  terhadap Muslim yang tercatat oleh aparat jauh lebih kecil dibanding jumlah kasus sebenarnya yang terjadi di lapangan.

Baca juga :

Ilmuwan dari Universitas Leipzig bernama Oliver Decker dan Elmar Brahler pada 15 Juni 2016, mempresentasikan hasil penelitiannya di Berlin. Survei dua tahunan terbaru yang mereka paparkan itu menunjukkan adanya kenaikan signifikan keresahan orang Jerman terhadap Islam.

Lebih dari 40 persen public berpendapat Muslim harus dilarang bermigrasi ke Jerman. Sekitar setengah dari jumlah responden mengaku terkadang merasa seperti orang asing di negerinya sendiri, karena bertambahnya jumlah pendatang asing di Jerman.

Sebagaimana diketahui, tahun belakangan Jerman kebanjiran migran dan pengungsi dari Asia, Timur Tengah dan Afrika, menyusul konflik berdarah yang terjadi di banyak negara Muslim.

Hasil studi lain yang dilakukan oleh firma Allensbach, yang dirilis pada waktu yang sama dengan penelitian di atas, menunjukkan bahwa warga Jerman skeptis terhadap Islam. Hanya sekitar 13% responden  yang menyetujui pernyataan Islam bagian dari Jerman.

Hasil survei yang dimuat koran terkemuka Frankfurter Allegemeine Zeitung itu menunjukkan bahwa kebanyakan orang Jerman yakin intgrasi pendatang asing ke masyarakat hanya bisa terjadi jika budaya asli Jerman  tetap dominan.

Umumnya kebencian terhadap orang asing diasosiasikan dengan penduduk dikawasan Timur Jerman. Namun, peneliti Universitas Leipzig mendapati perbedaan ketidaksukaan terhadap orang asing antara penduduk Jerman bagian Timur dan Barat kecil saja. Hampir 23% di timur versus 20% di barat.

Perbedaan mencolok justru pada kelompok umur, yang mana penduduk Jerman dibagian timur benci terhadap orang asing kebanyakan berusia di bawah 30 tahun.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Hidup Semakin Tak Berkah

Sajadah Muslim ~ Sesungguhnya berlaku curang adalah maksiat yang terkait dengan hak Allah Ta’ala dan sesama manusia.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu bahwa Rasulullah Saw, pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliau pun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya? Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (Riwayat Muslim no. 102).


Meski konteks Hadits di atas adalah jual-beli namun cakupan hukumnya bersifat umum. Maksudnya, menipu dan berlaku curang yang diancam tidak terbatas dalam jual-beli. Semua bentuk tipu menipu masuk di dalamnya. Hal ini sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih al-ibratu Hiumumillafdz la bikhususi sabab (pelajaran diambil dari keumuman lafadz, bukan pada kekhususan sebab)

Karenanya praktik curang tidak saja terjadi pada jual-beli. Pratik curang bisa dijumpai dalam politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya.

Di sekitar kita cukup banyak perilaku yang menggerus keberkahan hidup kita. Kealpaan kita dalam menegakkan sunnah-sunnah Rasulullah saw, adalah salah satu di antaranya. Jika penggerus keberkahan ini berkumpul  mengepung kehidupan kita, maka hidup ini tak ubahnya sebagai mukadimah sebelum mencicipi ancaman Allah.

Baca juga :

Setan memang makhluk yang lihai dan juga licik. Terkadang kita diajak fokus pada tujuan, tetapi dilalaikan dalam hal proses untuk mencapai tujuan. Sehingga tak jarang bermodalkan tujuan yang baik tetapi proses menuju kepada kebaikan tak lagi dirisaukan.  Inilah kaidah orang zionis, yang mengatakan tujuan menghalalkan segala cara.

Hasrat menghalalkan segala cara kadang menyelinap dalam pikiran tanpa disadari, saat kita terdesak dengan sesuatu yang sangat kita butuhkan pikiran kita langsung bekerja mencari jalan pintas dan praktis meski melabrak ketentuan Al-Qur’an dan sunnah.

Boleh jadi kita mendapatkan banyak hal dari kecurangan yang kita lakukan. Uang banyak kita miliki, jabatan prestisius bisa kita duduki atau nilai ujian yang tinggi. Namun kita tanpa sadar telah berbohong dan menipu banyak orang. Orang yang kita bohongi adalah termasuk orang yang kita zalimi.

Lantas apa arti semua yang kita capai jika tidak diperoleh dengan cara yang tidak halal? Jelas tidak ada artinya karena telah kehilangan keberkahan.

Dalam satu Hadits Rasulullah Saw pernah mengingatkan pentingnya jujur dan bahaya melakukan kecurangan. “Jika ia jujur dan transparan dalam jual  belinya, maka akan diberkahi, sebaliknya jika ia dusta dan menyembunyikan maka keberkahannya akan dimusnahkan oleh Allah.” (Muttafaqun Allah).

Curang Membuat Bangkrut

Jika para salafussalih sangat takut dan berusaha untuk menjauhi jabatan, zaman sekarang sebaliknya, orang berebut untuk menjadi pejabat. Yang lebih menyedihkan lagi karena di ajang rebutan ini sering disertai dengan pratek curang.

Celakanya lagi, hasrat berbuat curang itu kadang sulit direda. Bahkan ketika jabatan sudah di raih, keinginan berbuat curang justru semakin menjadi-jadi. Tepat sekali jika kemudian Rasulullah Saw mengeluarkan ancaman secara khusus kepada pejabat yang berlaku curang. 

“Tidaklah seorang hamba di antara kalian diberikan tanggung jawab mengurusi umat, lalu kemudian ia mencurangi rakyatnya kecuali Allah akan mengharamkan baginya surga.” (Muttafaqun Allah).

Berlaku curang adalah maksiat yang terkait dengan hak Allah Ta’ala dan sesama manusia. Ketika suatu maksiat terkait dengan hak sesama, maka proses bertobatnya tidaklah mudah. Sebab pelakunya mesti mendapat maaf dari orang yang dicuranginya. Jika tidak, maka perbuatan zalimnya akan ditebus dengan pahala kebaikannya. Jika pahalanya telah habis, maka ia harus rela memikul dosa orang di zaliminya.

Inilah yang sangat ditakutkan oleh salafussalih, sehingga mereka berusaha berlari sekuat mungkin dari segala hal yang bisa menjerumuskannya, bagaimana dengan kita?

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Pentingnya Mencari Ilmu

Sajadah Muslim ~ Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim. Namun, sebelum melakukannya, seseorang perlu mengetahui adab-adabnya, sehingga ilmu yang diperoleh berkah dan mendapatkan ridha dari Allah Swt, berikut ada beberapa adab yang perlu diperhatikan oleh para penuntut ilmu.


Iklas

Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya (Riwayat Bkhari).

Imam Nawawi menyatakan, para ulama memiliki kebiasaan menulis hadits  ini diawal pembahasan, guna mengingatkan para pencari ilmuan agar meluruskan niat mereka sebelum menelaah kitab.

Mengutamakan Ilmu Wajib

Hendaknya penuntut ilmu mengutamakan ilmu yang hukumnya fardhu ain untuk dipelajari terlebih dahulu, misal masalah akidah, halal-haram, lalu kewajiban yang dibebankan kepada muslim, maupun larangannya.

Setelah mempelajari ilmu yang hukumnya fadhu ain, boleh mempelajari ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, seperti menghafal Al-Qur’an dan hadits nahwu, ushul fikih dan lainnya. Selanjutnya ilmu-ilmu yang bersifat sunnah, seperti penguasaan salah satu cabang ilmu secara mendalam. 

Meninggalkan Ilmu Tak Bermanfaat

Tidak semua ilmu boleh dipelajari karena ada ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat atau bahkan ilmu yang bisa menjerumuskan orang yang mempelajarinya kepada keburukan. Karena itu dilarang bagi seorang Muslim mempelajari sihir, karena bisa menjadi jalan menuju kekufuran.

Baca juga :

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman, padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir) hanya syaitan-syaitanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan  sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. (QS. Al-Baqarah ayat 102).

Menghormati Ulama

Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menyakiti waliku, maka aku telah mengumandangkan perang kepadanya.” (Riwayat Bukhari)

Imam As Syafi’i dan Abu Hanifah, menafsirkan yang dimaksud wali dalam hadits itu adalah para ulama. Sehingga jangan sampai seorang penuntut ilmu melecehkan mereka, karena perbuatan itu mengandung murka dari Allah Swt.

Tidak Malu

Sifat malu dan gensi bisa menjadi penghalang seseorang untuk memperoleh ilmu. Karena itu, para ulama menasehati agar kedua sifat itu ditanggalkan hingga pengetahuan  yang bermanfaat bisa di dapat.

Memanfaatkan Waktu Dengan Baik

Hendaknya pencari ilmu tidak menyia-nyia waktu, hingga terlewatkan kesempatan belajar. Ulama besar seperti Imam Bukhari, bisa dijadikan contoh dalam hali ini. Diriwayatkan bahwa beliau menyalakan lentera  lebih dari 20 kali dalam semalam, untuk menyalin hadits yang telah beliau peroleh. Artinya beliau amat menghargai waktu, malam hari pun tidak beliau lewatkan kecuali untuk menimba ilmu.

Bermujahadah

Para ulama terdahulu tidaklah bersantai-santai dalam mencari ilmu. Sebab itulah, saat ini kita bisa memanfaatkan karya-karya mereka yang amat berbobot. Tentu kalau kita  menginginkan memiliki ilmu sebagaimana ilmu yang mereka miliki, maka kita juga harus bersungguh-sungguh seperti, kesungguhan yang telah mereka lakukan.

Ada yang mengatakan kepada Imam Ahmad, saat beliau terlihat tidak kenal lelah dalam mencari ilmu. “Apakah engkau tidak beristirahat.” Beliau hanya mengatakan “Istirahat nanti hanya di Surga.”.

Bermujahadah

Bagi para pencari ilmu nasehat Imam Al Waqi kepada Imam As Syafi’i mengenai sulitnya menghafal, amatlah berharga. Imam Waqi menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah Swt, sehingga tidak akan pernah bersatu dengan jiwa yang suka bermaksiat.

Memanfaatkan Waktu Dengan Baik 

Karena ilmu dipelajari untuk diamalkan, maka pencari ilmu hendaknya bersegera mengamalkan apa yang telah ia ketahui dan pahami, jika itu berkenaan dengan amalan-amalan yang bisa segera dikerjakan. Ali bin Abi Thalib RA mengatakan. “Wahai pembawa ilmu beramallah dengan ilmu itu, barang siapa yang sesuai antara ilmu dan amalannya maka mereka akan selalu lurus.” (Riwayat Ad Darimai).

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Syahid Kemenangan Yang Dicari-Cari

Sajadah Muslim ~ Mati syahid adalah kemenangan, bahkan kemenangan paling besar. Bukan saja pahala yang telah disediakan tapi sekaligus ampunan, tidak hanya itu, mereka langsung melesat masuk ke dalam surga, tanpa hisab atau perhitungan.


Dikatakan kepadanya, Masuklah ke dalam jannah. Ia berkata, Aduhai sekiranya kaumku mengetahui bahwa Rabbku telah mengampuni dan menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan. (Surat Yasin ayat 26-27).

Menurut para mufasir, ayat diatas terkait dengan seorang laki-laki bernama Habib an Najjar. Ia dibunuh oleh kaumnya setelah memberi nasehat kepada kaumnya. Ketika ia akan meninggal, malaikat turun memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni dosanya dan dia akan masuk Surga.

Orang yang tak tergiur dengan iming-iming ini mungkin tidak waras, sebab janji Allah itu sudah pasti, akan tetapi kita juga tidak boleh mengharapkan mati segera dengan cara ini. Biarlah Allah sendiri yang menentukan. Yang jelas kita harus berbuat, bekerja dan terus berjuang, jika nanti Allah memberi nikmat berupa mati syahid, maka terimalah dengan senang hati. Jika tidak, kita tetap merasa bersyukur kepada-Nya. Berarti masih banyak lagi pekerjaan yang harus diselesaikan, pahalanya pun bisa tidak kalah dengan mereka yang mati syahid.

Baca juga :

Mengapa orang yang mati syahid disebut telah memperoleh kemenangan, padahal secara fisik mereka mendapatkan kekalahan? Orang yang gugur sebagai syahid memang secara fisik mati. Tapi mereka sesungguhnya bukan mati. 

Mereka tetap hidup, bukan fisiknya, tapi keharuman namanya, ajaran yang dibawanya akan terus menjadi buah bibir generasi sepeninggalnya.

Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup disisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka gembira dengan apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. (QS. Ali- Imran ayat 160-170).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mati di dalam penjara, pada zamannya ia tidak populer. Pahamnya dilecehkan, bahkan dianggap sesat, tetapi beberapa tahun setelah beliau meninggal bahkan hingga kini, buku-buku karyanya menjadi bacaan wajib dikalangan pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu Islam.

Sayyid Quthb juga gugur karena mempertahankan Islam, meskipun ia mati, tapi karya-karya monumentalnya tetap hidup, memberi motivasi dan semangat juang kepada generasi di kemudian hari.

Kematian fisik bukan berarti tamatnya suatu kisah, justru sepertinya kisah itu baru dimulai dari kematiannya. Mereka hidup, itulah sesungguhnya arti kehidupan yang sebenarnya.

Apalah artinya hidup di dunia bila tanpa makna, hidup itu baru bermakna jika ada yang diperjuangkan, ada pula yang dikorbankan. Kalau hidup untuk hidup apa bedanya dengan binatang?

Beda halnya dengan mereka yang punya idealisme dan konsisten dalam memperjuangkan idealismenya, biarpun mereka mati, namanya masih disebut-sebut. Namanya harum menghiasi baris-baris tulisan dalam buku-buku.

Sebenarnya banyak juga orang yang menjadi buah bibir setelah kematiannya, tapi mereka menjadi buah pembicaraan yang jelek. Benar mereka hidup, tapi hidupnya menakutkan.

Berbeda dengan orang-orang selama hidupnya selalu berbuat baik, dan mati dalam memperjuangkan kebaikan. Secara fisik tulang belulangnya telah menyatu dengan tanah, tapi namanya tetap berkibar dimana-mana. Orang-orang seperti itulah yang sebenarnya memperoleh kemenangan.

Kemenangan Islam memang harus diperjuangkan terus-menerus, tapi hal itu janganlah dijadikan satu-satunya tujuan. Tujuan kita berjuang tetap ingin mendapatkan ridha Allah. Itulah tujuan yang paling tinggi, melebih segala-galanya. Untuk apa diberi kemenangan, jika setelah itu justru kita terperosok ke dalam tindak kezaliman.

Kita diberi kesempatan untuk berjuang itu sendiri sebenaranya sudah merupakan kemenangan. Apalagi kemudian diberi kemenangan ketika kita masih hidup, bahkan jika mati sekalipun dalam upaya menegakkan kalimat-Nya, tetapi dinilai mati syahid  yang merupakan puncak yang dicari-cari.

Maka benar apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah. “Apapun yang diperbuat oleh musuh-musuhku terhadap diriku, taman surga ada dalam dadaku. Kematianku adalah syahadah, pengusiranku berarti siyasah (tamasya) dan keberadaanku dibalik tirai besi adalah khahwah (penyucian diri dalam ibadah).

Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh menakjubkan kehidupan orang mukmin itu. Seluruh urusannya mempunyai arti kebaikkan. Dan tidak seorang pun bersikap seperti itu kecuali orang mukmin saja. Jika ia memperoleh kebaikan dan kenikmatan ia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesempitan atau musibah, maka ia bersabar dan itu merupakan kebaikan baginya.”

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Berjuang Dulu Pertolongan Kemudian

Sajadah Muslim ~ Kemenangan tidak akan datang kepada orang yang tergesa-gesa, sebab keberhasilan perlu berkeringat.


Setiap hari lima kali adzan dikumandangkan, salah satu seruan adzan adalah hayya alash-shalah hayya alal-falah, ayo tunaikan shalat, mari merebut kemenangan. Ajakan ini diulang-ulang sejak pertama kali diserukan oleh Bilal bin Rabah.

Adzan adalah panggilan Allah yang harus dihormati dan diperhatikan, segala aktivitas hendaknya dihentikan bila terdengar seruan ini. Tidak  hanya didengarkan, tapi dijawab dengan cara mengikutinya. Jika sudah sampai seruan hayya alal shalah- hayya alal falah, maka jawabnya adalah laa haula walaa quwwata illa billah, tiada daya tiada kekuatan kecuali dari Allah swt.

Sungguh klop jawaban dengan seruannya Allah swt menyeru, sedang kita menjawab tidak mampu, kecuali bila diberi kemampuan oleh-Nya. Maksudnya tentu saja kita berharap mendapatkan kemampuan itu.

Dan ternyata memang Allah telah menjanjikan bantuan kepada kaum muslimin yang ingin memperoleh kemenangan, sesuai dengan seruan adzan.

Baca juga :

Janjian Allah tidak pernah meleset, pasti benar dan pasti diberikan. Asal kita mau berjuang kemenangan itu telah disediakan. Ibarat proyek, Allah sendiri sebagai pimpronya . Bila kita sanggup mengerjakan satu tahapan, khawatir, Allah Maha Kaya.

Ada pun janji itu Allah berfirman; “Dan sungguh Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Tidak hanya sekali Allah Swt, memberi janji kemenangan kepada kaum muslimin. Lewat ayat-ayat-Nya, Allah memberi motivasi kepada kaum muslimin janji yang menggiurkan. Ini semua tentu saja agar umat Islam gemar berjuang, berani menegakkan kebenaran, hilang rasa takut dan ragu-ragu dalam berjihad. Akan tetapi manusia tetaplah manusia, mereka tetap mempunyai perhitungan untung dan rugi. 

Satu hal yang perlu diingat, kemenangan tidak diperoleh dengan Cuma-Cuma. Tidak juga dengan santai-santai. Rasulullah beserta sahabatnya tidak tanggung-tanggung menyerahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan. Secara total hidupnya adalah perjuangan 

Dari bangun tidur sampai tidur kembali, bahkan dalam tidurnya itu sendiri adalah dalam rangka perjuangan.

Adalah pantas jika beliau memperoleh kemenangan gemilang, kita pun sekarang  juga bisa mendapatkan hal yang sama asal kita berjuang habis-habisan seperti yang dicontohkan oleh beliau. Masalahnya, sudahkah kita bersungguh-sungguh? Jika sudah tungguhlah sebentar karena pertolongan Allah itu dekat.

Kapan pertolongan itu datang? Pertanyaan seperti ini hanya pantas disampaikan oleh mereka yang sudah habis-habisan melakukan ikhtiar. Bagi yang masih separuh-separuh apalagi yang masih belum, tidak perlu bertanya-tanya. Bagaimana tidak, belum bekerja sudah minta upah? Belum berjuang minta jatah? Hal seperti itu tidak pantas.

Ketika di Mekkah, kaum muslimin mendapat tekanan luar biasa dari kaum kuffar. Intimidasi itu sudah biasa. Teror terjadi sehari-hari. Ancaman datang silih berganti. Bahkan sudah sampai pada tingkat penyiksaan fisik, termasuk pembunuhan.

Pada saat seperti ini ada salah seorang sahabat mendatangi Rasul agar berdoa guna memperoleh kemenangan. Bagaimana sikap Rasulullah? Bukhari meriwayatkan.

“Dari Khabbab bin Al-Arat, ia berkata, Kami mengadu kepada Rasulullah yang ketika itu sedang menjadikan kainnya sebagai bantal di bawah Ka’bah. Kami berkata. “Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau mendoakan kami? Beliau lalu bersabda, Sungguh telah ada orang yang hidup sebelum kamu dibuatkan lubang galian di bumi kemudian ia ditanam di dalamnya. Lalu didatangkan kepadanya hingga terbelah menjadi dua bagian. Dan ada juga yang disisir dari besi sehingga dagingnya rontok terpisah dari tulangnya. Tetapi itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya. 

Demi Allah. Allah benar-benar akan menyempurnakan perkara ini sehingga penunggang kuda yang berjalan dari Shan’a menuju Hadramaut tidak takut kecuali kepada Allah, dan serigala untuk tidak memangsa kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.

Sungguh benar apa yang disampaikan oleh Nabi. Kita sering tergesa-gesa, baru saja memulai sudah langsung ingin sukses. Belum lagi berkeringat buru-buru ingin memetik hasilnya, Tentu saja berharap kemenangan atau kesuksesan itu lumrah dan Allah juga sudah menjanjikan.

“Sungguh, Kami benar-benar akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi di hari kiamat." (QS Ghafir ayat 51).

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Sekali Berjuang Berarti Menang

Sajadah Muslim ~ Tak banyak yang tahu kalau pekik merdeka atau mati yang sangat populer itu adalah slogan yang diilhami, atau lebih tepatnya merupakan terjemahan dari kata Arab. Isy hariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid).


Wajar jika slogan ini begitu populer, sebab memang rata-rata pejuang kita adalah muslim golongan Islamlah yang paling gigih menentang penjajahan, sebab adanya keyakinan bahwa penjajahan sangat bertentangan dengan semangat Islam.

Dalam Islam, kehormatan segala-galanya, hidup tanpa kehormatan tidak ada artinya. Kerenanya setiap muslim harus berjuang memperoleh kehormatan itu. Inilah sesungguhnya harga manusia, jika sampai hilang maka hilanglah nilai kemanusiannya, baik di sisi Allah maupun disisi manusia.

Allah berfirman; “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan..” (QS Israa ayat 70).

Jika Allah sendiri telah memuliakannya, apakah sepantasnya manusia merendahkan derajatnya? Seorang yang rela dijajah, diperbudak dan diperhamba oleh manusia, maka sesungguhnya mereka telah menempatkan dirinya pada posisi yang hina. Mereka telah kehilangan harga dirinya.

Bilal bin Rabah semula adalah satu contoh manusia jenis ini. Akan tetapi begitu ia mendapatkan siraman wahyu, seketika itu format berpikirnya langsung berubah. Sikapnya menjadi positif dengan memberi harga kepada dirinya sendiri.

Wahyu pertama, surat Al-Alaq, yang mengantarkan umat Islam mengenali dirinya. Manusia adalah ciptaan Allah, yang berasal dari bibit  yang sama. Karenanya tidak selayaknya jika manusia mengangkat dirinya melebihi manusia yang lain.

Fir’aun contoh manusia yang sombong yang menempatkan dirinya di atas manusia yang lain, bahkan dia telah memposisikan dirinya setaraf dengan Tuhan, setidaknya menurut pemahamannya. Melihat kenyataan ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Musa as untuk mendatanginya. “Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampau batas (QS. Thaha ayat 24)

Ketika seseorang mengangkat dirinya melebihi kemanusiaannya, berarti ia telah melampau batas. Dalam istilah Al-Qur’annya, thagha, mereka ini perlu diingatkan. Pertama, dengan teguran yang lunak, tetapi jika thagha-nya keterusan maka peringatan keras harus dilakukan, bahkan sampai batas melawan. Jihad melawan kezaliman seperti ini bahkan menjadi suatu kewajiban.

Islam juga agama pembebasan, tidak ada agama yang lebih heroik dalam hal memperjuangkan kebebasan ini dari pada Islam. Dengan konsep tauhidnya semua bentuk perikatan selain dengan Allah harus dibebaskan.

Orang yang bertauhid  hanya loyal pada Allah saja. Loyalitas kepada yang lain akan merusak jiwa tauhidnya.

Kalimat tauhid Laa ilaaha illallah, merupakan proklamasi pembebasan manusia dari semua jenis perbudakkan, baik yang samar maupun yang terang-terang. Hubungan manusia dengan Tuhannya adalah tegak lurus tanpa gangguan. Tanpa perantara atau makelar.

Doktrin tauhid inilah yang menjadikan kaum muslimin bebas dari perasaan takut, sebab rasa ketakutannya hanya ditujukan kepada Allah semata, selain kepada Allah, mereka bersikap berani.

Meskipun Umar bin Khaththab dikenal sebagai orang yang berwatak keras dan tegas, tapi ketika diangkat menjadi khalifah masih ada yang berani menegurnya. Tidak tanggung-tanggung menegurnya dengan ancaman pedang. Hebatnya, Umar tidak marah, malah berterima kasih.

Baca juga :

Penentangan kaum muslimin terhadap ketidakadilan tidak pernah sepi dari generasi ke generasi. Ada saja segolongan umat yang tampil kepermukaan menjadi pioner pejuang keadilan. Terdapat banyak bukti tertulis mengisahkan bahwa dunia ini tidak pernah kosong dari orang-orang yang mempertahankan kebenaran dan berdiri di atasnya, mereka tak henti-hentinya berjuang sampai datang ajal menjemputnya.

Orang-orang seperti ini memang punya harga diri. Mereka merasa lebih baik mati terhormat dari pada hidup secara hina. Bukan berarti mati sebagai pilihannya, sebab mereka juga ingin hidup secara mulia.

Kemuliaan mereka bukan terletak pada kekayaan yang melimpah, bukan pula pada kekuasaan yang berada dalam genggamannya. Kekayaan dan kekuasaan hanyalah alat untuk meraih kemuliaan itu sendiri.

Terus apa kemuliaan itu? Islam, Itulah yang mesti diperjuangkan, baik dengan kekayaan maupun dengan kekuasaan. Keduanya adalah alat untuk menjayakan Islam.

Apalah artinya kekayaan bila tidak untuk memenangkan Islam? Apakah gunanya kekuasaan jika bukan dikhidmatkan untuk Islam? Adalah suatu kemenangan jika kita hidup dalam Islam, dan mati membawa Islam.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Rukun Dengan Keluarga Besar

Sajadah Muslim ~ Tinggal di rumah yang berdampingan dengan keluarga besar ternyata tak semudah yang dibayangkan. Banyak kebiasaan dan “kewajiban” yang meresahkan, terutama yang berkaitan dengan otoritas sang suami yang tinggal di daerah kekuasaan “keluarga istri”.


Masalah seperti ini memang banyak terdengar dari pasangan yang tinggal bersama keluarga dari salah satu pihak. Konflik-konflik yang terjadi akibat kebiasaan yang berbeda hingga menyangkut “harga diri” seringkali menjadi  pertikaian terbuka atau paling tidak menjadi api dalam sekam.

Apakah kemudian, tinggal di tempat yang jauh dari keluarga menjadi pilihan terbaik bagi setiap pasangan agar mandiri dan aman konflik? Jawabannya mungkin tak sesederhana itu. Tinggal bersama keluarga pun bisa menjadi pilihan yang baik dan nyaman, manakala kita mampu mengelola hati dan mengambil keputusan-keputusan yang tepat untuk berbagai pihaak.

Cerdas Emosi

Tinggal serumah atau selingkungan dengan keluarga sebenarnya tak menjadi penghalang kemandirian seseorang dalam mengelola rumah tangga. Sikap kekanak-kanakan atau mengandalkan keluarga besar sebenarnya datang dari pribadi yang bermasalah pada individu.

Tinggal serumah dengan keluarga besar akan membuat kita menjadi orang yang peka terhadap kebutuhan orang lain. Permasalahan dan kebutuhan yang timbul tentu tak hanya sekadar kebutuhan kita sebagai pasangan suami-istri atau keluarga kecil yang baru memiliki satu atau dua anak. Akan tetapi tinggal dengan keluarga besar tentu akan memaksa kita untuk melihat persoalan keluarga yang lebih kompleks.

Rasulullah Saw bersabda. “Siapa saja (diantara orang mukmin) yang melapangkan satu kesusahan dunia yang dialami oleh mukmin yang lain maka Allah Swt akan melapangkan satu kesusahan darinya di Hari Kiamat. Siapa yang menutup aib seorang Muslim, maka Allah Swt juga akan menutup aibnya baik di dunia maupun di akhirat.

Sesungguhnya Allah akan selalu menolong seorang hamba selama ia tetap menolong saudaranya sesama Muslim.” (Riwayat Tirmidzi). 

Agar kepekaan terhadap masalah tadi meningkat menjadi kecakapan untuk menyelesaikan masalah ambillah bagian menjadi penyelesaian masalah  bersama anggota keluarga yang lebih dituakan akan menjadi yang timbul pengalaman yang berharga.

Baca juga :

Ucapan Dan Contoh Terbaik

Meski manfaat tinggal bersama keluarga besar begitu banyak, tentunya masalah yang timbul juga tak kalah banyak. Di sinilah pentingnya keterbukaan dan komunikasi yang baik kita lakukan dengan keluarga.

Komunikasi adalah jembatan terbaik untuk menjalin kebersamaan antara keluarga yang tengah kita bangun dengan keluarga besar. Utamakanlah untuk senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat yang baik dan perilaku terbaik dalam menghadapi masalah yang timbul dengan keluarga besar.

Kendalikanlah amarah yang timbul meskipun kita berada di berbagai sudut pihak yang benar, sebab apa yang kita katakan dan lakukan akan menjadi label yang dilekatkan oleh keluarga besar.

Genggamlah kuat-kuat sabda Rasulullah saw. “Siapa yang menahan (meredam) amarahnya padahal ketika itu dia mampu melampiaskannya, maka di hari kiamat kelak Allah akan menyerunya dari barisan hamba-hamba-Nya yang terdepan (pilihan). Dia kemudian akan dipersilakan untuk memilih bidadari mana yang diinginkan.”

Hidup bersama dengan keluarga besar memang bukan perkara mudah. Namun inilah kesempatan untuk belajar memahami permasalahan dari sudut pandang. Konflik yang terjadi akan sangat beragam, namun disinilah kita dituntut untuk menjadi orang yang cakap dalam menghadapi berbagai kepribadian manusia dan menyelesaikan masalah dengan satu titik pandang. Titik pandang yang membuat Rasulullah saw berhasil membina kaum Muslimin dari berbagai lapisan masyarakat. Itulah titik pandang yang berasal dari iman.

Serumit apapun masalah yang timbul, sebesar apa pun kerugian yang mungkin timbul, kembalilah pada perintah Allah swt dan sunnah Rasul-Nya. Bertahanlah dalam kebaikan dan berusahalah dalam kebaikan dan berusahalah bersabar untuk tetap menjalankan teladan Rasul-Nya, manakala menghadapi musibah ataupun kesulitan yang ditimpakan oleh orang lain.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Dahsyatnya Keindahan Surga

Sajadah Muslim ~ Seperti artikel sebelumnya yang masih membahas indahnya Surga dan bagaimana caranya agar kita sekeluarga bisa reuni di sana, masih menjadi  topik bahasan.

Salah satunya adalah keindahan Surga yang tidak pernah bisa dibayangkan apalagi diperlihatkan dengan kasat mata.


Meski di dalam Al-Qur’an banyak permisalan tentang dasyatnya keindahan Surga itu hanya disesuaikan dengan daya jangkau pikiran manusia. Tujuan agar membawa kita pada batas tertinggi mengenai nikmatnya kehidupan di akhirat.

Dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Sajadah ayat 17, “Maka  tak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu berbagai nikmat yang  menanti, yang  menyenangkan hati sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”

Jika data tentang keindahan Surga di dalam jiwa kita sedikit, lalu data tentang kenikmatan dunia lebih kuat dan lebih menggiurkan, kita akan menemukan jalan yang terjal dan medan yang berat menuju keabadian di surga.

Teramat berat untuk melangkah menuju jalan-jalan Surga di dunia ketika kenikmatan yang fana dan sesat ini masih menggiurkan, sebab, tatkala Islam mengajarkan janganlah mati kecuali dalam keadaan sebagai Muslim, faktanya jiwa dunia kita mengatakan takutlah mati dalam keadaan lapar, miskin dan tidak meninggalkan warisan.

Padahal, kelak harta, istri, jabatan, anak dan keluarga semuanya akan dijadikan sebagai jembatan melancarkan jalan menuju Surga-Nya atau menceburkannya ke Neraka.

Menurut benak Anda, seberapa nikmat keindahan Surga dibandingkan kenikmatan dunia? Dengan bantuan data dan informasi tentang Surga yang bersumber dari Al-Qur’an, sangat membantu bagaimana kita terhubung ke Surga.

Penduduk Surga ternyata saling bercengkarama dan saling mengenal satu sama lain, seperti di dunia, mereka kelak saling duduk berhadap-hadapan sambil berbincang tentang masa-masa di dunia dulu. Mereka salin bertanya mengapa bisa lolos sampai ke Surga ini?

Fenomena lain kenikmatan di Surga digambarkan QS Al-Baqarah ayat 25. “Dan sampaikan berita gembira ini kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bahwa mereka disediakan surga-surga yang mengalir airnya dibawahnya sungai-sungai. Setiap  kali mereka diberikan buah-buahan dari surga, mereka berkata, inilah rezeki yang diberikan kami dahulu. Mereka diberikan buah-buahan yang serupa, dan di sana mereka memperoleh pasangan-pasangan yang suci, mereka kekal di dalamnya.

Seperti itulah Al-Qur’an membuka aplikasi surga dalam pikiran manusia. Gambaran surga yang tertabirkan, di gambarkan seperti taman atau kebun yang saking lebatnya pohonnya tertutup satu sama lain.

Selain itu di gambarkan dalam Al-Qur’an seperti taman yang luas dan rindang ada sungai yang mengalir di bawahnya, memang suara gemercik air di telinga itu memberikan keindahan tersendiri bagi jiwa kita. Lalu setiap kali didatangkan rezeki di dalam surga berupa buah-buahan, penduduk surga berkata, bukankah buah-buahan seperti ini yang dulu kami dapatkan di dunia?

Ketika penduduk Surga mulai bertanya-tanya sampai kapan kenikmatan yang terus menerus tiada hentinya ini? Lalu datanglah malaikat dan berkata, Wahai para penduduk surga tidak ada lagi kata terbatas, semua boleh sepanjang masa dan kalian tidak akan pernah mati selamanya dan semua kenikmatan Surga tidak pernah berakhir selama-lamanya, itulah nikmat yang Allah berikan bagi orang-orang beriman di dalam surga.

Baca juga : 

Kepada penduduk surga akan diperintahkan Iqra warka artinya bacalah  dan naikkan satu tingkat. Hafalkan Al-Qur’an seperti kamu membacanya di dunia. Tingkatkan pada ayat terakhir apa yang kamu baca, disitulah tingkatan Surgamu, jadi yang paling banyak hafalan Qur’annya dialah yang paling tinggi Surganya. Yang paling sedikit hafalan Qur’annya dialah yang paling rendah tingkatan Surganya. Begitulah Tuhan memperlakukan para penghafal dan pemelihara kitab suci-Nya

Bahkan standar Surga itu tidak ada gambarannya saja terbuat dari perak dan emas, adukannya dari minyak kasturi, kerikilnya dari mutiari dan batu permata. Bidadari Surga semuanya  cantik jelita, perawan dan penuh cinta kasih. Pelayannya adalah anak-anak muda yang selamanya muda bagaikan mutiara yang bertaburan.

Dalam QS. Az-Zukhruf ayat 68-73 dijelaskan penduduk Surga itu dijamu dari berbagai macam makanan dan minuman yang lezat-lezat dan harum tanpa pernah habis karena abadi. Gelas dan piringnya dari emas.

Kepada penghuni surga dikatakan, “Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kalian karena amal perbuatan yang telah kalian kerjakan.”

Bagi yang ingin masuk Surga adalah bukan karena amal seseorang sehingga ia bisa masuk  Surga. Tetapi karena rahmat dan kasih sayang Allah semata seseorang dapat masuk Surga. Karena itu mari kita memurnikan tauhid kita dari syirik, nifaq, dan riya, lalu mohon kekuatan Allah agar dimampukan selalu ikhlas dalam menjalankan semua ketaatan demi mengharapkan ridha-Nya saja.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Mendidik Dengan Fitrah

Sajadah Muslim ~ Islam menempatkan manusia sebagai Khalifah Allah, karenanya tugas orang tua mendidik anak untuk menanamkan tauhid dan akidah yang benar.

Mendidik anak dalam Islam adalah perkara yang sangat jelas, mulai dari apa pertama harus ditanamkan di dalam sistem kesadaran anak, hingga apa yang harus dilakukan sebagai bekal mengarungi hidup dunia dan dunia akhirat secara utuh.


Namun, karena umat Islam kehilangan “ibrah” yang bisa diterjemahkan sebagai jembatan penghubung terhadap sejarah pendidikan Islam yang sesungguhnya, sebagaian besar umat Islam terseret pada cara berpikir Barat, yang memandang anak sebatas pada diri fenomenal.

Titik keberangkatan Barat dalam mendidik anak berasal dari diri fenomenal, apakah itu berbentuk “serigala” gelas kosong, kertas putih, makhluk yang terjatuh karena dosa, sehingga tidak mengherankan jika kemudian pengertian mereka terhadap manusia sebatas pada fenomena belaka.

Aristoteles misalnya, ia memaknai manusia sebatas zoon politicon, yang lain menyebutnya sebagai homo sapien, dan Thomas Hobbes dengan tanpa ragu menganggap manusia sebagai homo-homini lupus, sebuah sebutan yang begitu mengerikan bagi telinga manusia itu sendiri. Sebab, homo  homini lupus itu berarti serigala yang suka berkelahi.

Sedangkan dalam Islam, manusia adalah hamba dan khalifah Allah, karena itu, hal pertama dan utama  yang menjadi tugas orang tua  dalam mendidik putra-putrinya adalah menanamkan tauhid dan akidah Islam dengan sebaik-baiknya (QS Luqman ayat 13)

Selanjutnya mendorong anak agar memiliki ilmu mendasar yang harus dimiliki yakni bagaimana taat kepada Allah dan menolak segala macam perintah atau pun informasi yang kian menjauhkan dirinya dari mengingat Allah, sekalipun hal tersebut berasal dari kedua orang tuanya sendiri (QS Luqman ayat 15).

Selanjutnya menanamkan dalam jiwa anak bahwa Allah Maha Mengetahui, sehingga perbuatan baik apa pun dan perbuatan buruk  apa pun pasti akan mendapatkan balasan dari Allah (QS Luqman ayat 16).

Selanjutnya, orang tua harus memastikan putra-putrinya mendirikan shalat dengan baik, kemudian memberikan bekal ilmu atau skill yang baik, sehingga dalam hidupnya bisa terlibat dalam dakwah “Amar ma’ruf  nahi munkar”, sebab hal tersebut adalah wajib bagi setiap Muslim (QS. Luqman ayat 17)

Itulah titik keberangkatan Islam dalam memandang manusia sehingga manusia adalah fitrah yang tidak terwarnai oleh aspek sejarah, geografis, maupun etnis, melainkan semata-mata adalah ruh-Nya.

Dengan demikian, semakin terang bagi kita bagaimana mendidik anak-anak kita agar mampu mencapai aktualiatasnya yang tertinggi sebagai manusia-manusia yang cerdas, mengabdikan dirinya kepada Allah dan sekaligus menjadi rahmat bagi lingkungannya.

Baca juga :

Dalam kata yang lain, apabila kita berkeinginan mendidik anak sebagaimana generasi terbaik Islam mendidik putra-putrinya, maka tidak ada jalan lain, kecuali dengan kembali ittiba (mengikuti) Rasulullah secara integral.

Karena hanya dengan mengikuti sunnah tersebut akan lahir kearifan Islam dan kesucian hidup seperti yang diharapkan. Kita tidak lagi sebatas menekankan bagaimana anak memahami bahasa, angka dan fenomena  yang bersifat matematik, fisik, kimiawi, dan biologis semata, tetapi juga mendorong mereka untuk memahami aspek mendasar konstruk ke ilmuan, sehingga bacaan Al-Qur’an yang mereka lakukan tidak saja benar dari sisi tajwid, makhraj dan iramna semata, tetapi juga mampu melahirkan pengkajian yang mendalam dan aplikatif dalam menjawab tantangan zamannya berdasarkan Al-Qur’an.

Tanpa pendidikan fitrah, kehadiran generasi yang demikian, amatlah sulit untuk tidak dikatakan mustahil. Jika hal tersebut pernah menyejarah di dalam perjalanan peradaban Islam, adalah tidak mungkin, hal tersebut mustahil kita capai. Selama ada pemahaman yang utuh dan komitmen yang teguh Insya Allah generasi Robbani hanyalah soal waktu.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Ketika Muslimah Berbinis

Sajadah Muslim ~ Simaklah kisah Asma binti Abu Bakar. Zubeir menikahiku, sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali keduanya, akulah yang mengurusnya, dan memberinya makan dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan mengadon roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah dari tanahnya, Zubeir yang aku panggul di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km).


Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung kurma diatas kepala, bertemu dengan Rasulullah bersama seseorang beliau bersabda. “Ikh....ikh (ucapan untuk menghentikan kendaraan) dengan maksud agar aku naik kendaraan dibelakangnya. Namun saya merasa malu dan saya ingat Zubeir dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu.

Tatkala saya sampai dirumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubeir lalu dia berkata, “Demi Allah, engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku dari pada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.”

Apa yang dilakukan Asma, memperlihatkan bahwa sebagai seorang istri, ia rela melakukan hal-hal yang seharusnya dikerjakan oleh suaminya, namun disisi lain ia tetap menjaga kehormatan suaminya.

Jadikan Hobi Sebagai Peluang Usaha

Bagaimana cara menemukan peluang usaha yang ingin atau hendak kita geluti? Banyak dari kita, yang ketika keinginan untuk berbisnis itu muncul justru malah bingung menentukan bisnis apa. Padahal jika mau dicermati, banyak sekali kegiatan sehari-hari yang bisa dikembangkan, memasak misalnya.

Atau mencuci, jika ada mesin cuci, bagaimana jika sekalian saja membuat laundry. Ya... hitung-hitung pemasukan yang didapat bisa membantu membayar rekening listrik bulanan. Atau bercocok tanam dipekarangan, membaca, menulis, bahkan memijat. Luar biasa potensi-potensi yang ada di sekitar kita. 

Nah, tentu saja ada beberapa hal yang perlu kita ketahui sebelum benar-benar mengembangkan hobi kita menjadi sebuah bisnis.

Pertama;  Profesional saja tidak cukup. Kita harus ahli di bidang tersebut. Artinya, kita harus senantiasa mengasah kemampuan kita berkaitan dengan hobi tersebut.

Karena kalau sudah berurusan dengan konsumen atau pelanggan, kita dituntut untuk profesional, tidak harus  mengeluarkan dana banyak diawal. Memnpelajari dari buku, atau dari teman-teman yang sudah berpengalaman dapat dilakukan, jika ada  dana, kita dapat mengikuti kursus-kursus agar lebih mantap.

Kedua, Banyak peluang di sekitar kita, banyak orang merasa ragu ketika akan berbisnis. Ada kekhawatiran apakah produknya atau jasanya nanti akan laku atau tidak, maka yang kita perlukan berikutnya adalah menjajaki potensi pasar. Survei, jadi lakukan survei kecil-kecilan terhadap teman-teman kita. Benarkah produk yang kita tawarkan betul-betul mereka butuhkan, kalau tidak, maka kira-kira apa yang mereka butuhkan.

Baca juga :

Suka saja tidak cukup, kita harus ahli di bidang tersebut. Artinya kita harus senantiasa mengasah kemampuan kita berkaitan dengan hobi tersebut. Karena kalau sudah berurusan dengan konsumen atau pelanggan, kita dituntut untuk profesional, tidak harus mengeluarkan dana hanya diawal.

Mempelajari dari buku atau dari teman-teman yang sudah berpengalaman dapat dilakukan, jika ada dana, kita dapat mengikuti kursus-kursus agar lebih mantap.

Kedua, Banyak peluang di sekitar kita, banyak orang merasa ragu ketika akan berbisnis. Ada kekhawatiran apakah produknya atau jasanya nanti akan laku atau tidak. Maka yang kita perlukan berikutnya adalah menjajaki potensi pasar, survei, Jadi lakukan survei kecil-kecilan terhadap teman-teman kita. Benarkah produk yang kita tawarkan betul-betuil mereka butuhkan, kalau tidak, maka kira-kira yang mereka butuhkan.

Ajaklah teman-teman berbicara dan temukanlah peluang itu di sana.

Ketiga, Bergabunglah dengan komunitas yang sejenis dengan bisnis dengan bisnis pilihan kita, ini sangat penting pengaruhnya. Keberadaan komunitas sangat membantu kita untuk mendapat relasi bisnis dan info-info terbaru terkait dengan seluk beluk bisnis yang kita geluti. Komunitas seperti ini cukup banyak ada di sekitar kita saat ini.

Keempat;  Promosi, dan promosi. Setelah menemukan produk yang yakin untuk melakukannya, maka yang harus kita lakukan berikutnya adalah promosi-promosi Adalah promosi.

Mulailah dari teman-teman sendiri, lalu berkembanglah ke sesama orangtua ketika kita menjemput anak-anak di sekolah, percayalah, sekali saja pelanyanan kita, mereka akan kembali lagi, membawa pelanggan baru, Insya Allah.

Patut Di Ingat

Tidak mudah memang, mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak, ditambah lagi mengurus bisnis. Sebagai itu, kita harus pandai-pandai mengatur waktu, termasuk waktu untuk beristirahat untuk kita sendiri. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mendapat masukan dari teman-teman maka kita akan terbantu dalam banyak hal. Dari kita akan menyadari betapa  banyak pelajaran yang kita dapatkan dari langkah yang telah kita pilih ini.

Satu hal yang sangat mendasar untuk dipahami bagi para ibu yang ingin terjun di dunia bisnis, bahwa apa yang kita lakukan ini bukanlah untuk gagah-gagahan. Jika kemudian usaha ini menjadi besar dan apa yang kita dapatkan melebihi pemberian suami pada kita, maka tetaplah menjaga keridhanannya, Insya Allah, apa yang kita lakukan menjadi amal saleh.

Selain itu, hal ini akan sangat bermanfaat jika terjadi hal-hal diluar dugaan, saat suami meninggal, misalnya “Penulis adalah penguasa garmen, dikutip dari majalah suara hidayatullah.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Kewajiban Menyampaikan Amanah

Sajadah Muslim ~ Sebagai jalan hidup yang sempurna, Islam sangat detail dalam aturan kehidupan, terlebih pada sisi kepercayaan, amanat, ia tidak bisa diserahkan melainkan kepada yang berhak alias ahlinya.


“Sungguh, Allah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baiknya memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha mendengar, Maha melihat.” (QS An-Nisa  ayat 58)

Prof DR Wahbah Al-Zuhaili secara bahasa menjelaskan bahwa kata “al-amanat” adalah jamak dari kata “Amanah” yang maksudnya adalah sesuatu yang di amanahkan kepada seseorang.

Dalam penggunaan sehari-hari, kadang diartikan sebagai sesuatu yang engkau gunakan dengan izin si pemilik. Kata ini kemudian mempunyai arti segala sesuatu yang dimiliki oleh pihak lain. Orang yang menjaganya disebutya amin (dapat dipercaya) sedangkan yang tidak menjaganya disebut Khaa’in (pengkhianat).

Ibn Abbas meriwayatkan perihal asbabun nuzul dari ayat ini. Ketika Rasulullah berhasil membebaskan kota Makkah, beliau memanggil Utsman bin Thalhah dan kala datang dikatakan oleh Nabi. Berikan kunci ka’bah kepadaku Utsman pun memberikan, kemudian Nabi masuk ke dalam Ka’bah dan keluar dengan membacakan ayat ini.

Prof DR Wahbah A- Zuhaili  dalam tafsir Al-Munir, menjelaskan dalam tafsirnya bahwa sebab turunnya kewajiban menyampaikan amanah ini memang khusus dalam kejadian, namun keumuman arti ayat ini tidak dapat dipersempit maknanya dengan sebab yang khusus tersebut.

Baca juga:

Kebanyakkan yang dijadikan standar dalam memahami ayat Al-Qur’an umumnya arti yang dapat dipahami dari ayat tersebut, bukannya sebab yang melatar belakangi turunnya ayat yang menyebabkan makna ayat tersebut menjadi sempit.

Atas dasar itu, menurut Wahbah Al-Zuhaili, seluruh umat Islam wajib menjalankan amanah yang menjadi tanggung jawab setiap  jiwa, baik itu yang berhubungan dengan diri sendiri atau yang berhubungan dengan hak orang lain ataupun yang berkaitan dengan hak Allah.

Begitu besar dan pentingnya kedudukan amanah, seseorang yang mati di jalan Allah pun tidak bisa lepas dari masalah ini.

Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah mencatat satu hadits marfu yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah bersabda, “Mati di jalan Allah dapat menghapus semua dosa kecuali amanah.”

Prof DR Wahbah pun menegaskan, Oleh karena itu shalat, puasa, ucapan lisan juga termasuk amanah. Amanah yang paling berat adalah titipan (Wadii’ah)

Jadi, penting bagi umat Islam memahami bahwa beragam ibadah, bahkan ucapan diri selama ini hakikatnya adalah amanah, maka selain harus berhati-hati juga mesti bisa mempertanggung jawabkannya dengan sebaik-baiknya. Terlebih ucapan sekarang tidak saja dalam bentuk verbal, tetapi juga tulisan melalui status media sosial kita sendiri.

Bahkan Ubay bin Ka’bah menambahkan bahwa zakat, janabah, puasa, menakar, menimbang dan titipan adalah amanah.”

Dan kita tidak bisa bermain-main untuk mengenai amanah, Ibn Abbas mengatakan. “Allah Swt, tidak memberi keinginan dalam masalah amanah baik kepada orang yang susah maupun kepada orang yang senang.” Semoga kita dimudahkan oleh Allah menjadi pribadi yang amanah.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Bersaudara Lebih Baik

Sajadah Muslim ~ Satu ujian yang tidak banyak manusia lolos menghadapinya adalah rukun, baik, akur, dan saling mengasihi dengan saudara sekandung atau keluarga dekat. Sosok yang berhasil melalui badai besar yang memporak-porandakan kehidupan persaudaraan itu adalah Nabi Yusuf Alayhissalam. Begitu dahsyatnya badai itu sampai-sampai Nabi Yusuf terlempar jauh dari kehidupan sang ayah yang amat menyayangi.


Akan tetapi, kondisi itu tak menjadikan Nabi Yusuf tempat sebagai sosok pendendam, sekalipun kekuasaan, kekayaan, dan kebenaran ada seutuhnya di pihaknya. Ia malah memaafkan dan memuliakan saudara-saudaranya.Tak ada celaan bagi kalian di hari ini, semoga Allah mengampuni kalian, (QS Yusuf ayat 92).

Begitu agung dan mulia akhlak Nabi Yusuf Alayhissalam di dalam kehidupan dan bersama saudara-saudaranya, sampai-sampai Allah ta’ala menyebut perjalanan hidup Nabi Yusuf yang utuh dalam satu surah itu sebagai sebaik-baiknya kisah.

Maknanya tentu saja umat Nabi Muhammad ini mesti mengikuti, meneladani, dan berusaha sebaik mungkin menjaga hubungan baik dengan saudara kandung. Pada saat yang sama juga mampu berjiwa besar dengan memaafkan kesalahan-kesalahan saudaranya, jika pernah melukai atau pun menzaliminya.

Tidaklah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang muda (HR Imam Ahmad dan Thabran).

Artinya bersaudara lebih baik, lebih utama dijaga dipertahankan, dan dikuatkan. Tinggal bagaimana satu sama lain bisa saling memahami, komitmen dalam menegakkan nilai-nilai iman. Dan, menurut Nabi Muhammad dalam bersaudara masing-masing harus mengenali posisi dirinya. Sebagai adik maka menghormati kakak, menyayangi yang muda.

Baca juga:

Jadi tidak ada ruang sama sekali yang mengizinkan untuk satu sama lain bisa menuntut apalagi sampai saling menyalahkan.

Oleh karena itu, para orang tua wajib membekali iman, tauhid dan ketergantungan jiwa anak hanya kepada Allah, sehingga hati anak itu menjadi yang lapang, tidak mudah tercemar oleh perilaku buruk sesamanya yang sangat merugikan.

Seperti Nabi Yusuf alayhissalam,  yang senantiasa teguh dan yakin akan pertolongan Allah, sehingga tidak terbesit diri untuk menyalahkan apalagi balas dendam. Padahal kalau mau, yang benar dan yang salah sangat jelas. Namun itulah iman, itulah adab dan begitulah seorang yang seharusnya. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Strategi Menuju Pembebasan

Sajadah Muslim ~ Kapan sebuah bangsa dijajah dan terbelakang? Ialah ketika ilmu padam atau belum dikenal oleh sebuah bangsa.


Sebab, kata Ibn Khaldun, sekalipun sebuah bangsa dijajah, secara psikologis tetap akan meniru cara berpikir dan perilaku bangsa yang menjajah. Makanya adalah, bangsa yang inferior akan mengikuti bangsa yang superior. Seorang pakar kajian Baitul Maqdis, Prof. DR. Abd. Al-Fattah El-Awaisi, menuliskan dalam Buku Emas Baitul Maqdis bahwa kekalahan ilmu bukan saja menjadikan fisik kita terjajah, tapi ilmu dan pikiran kita pun terjajah dan terjarah.

Jauh sebelum ini Adian Husaini juga menuliskan dalam Hegemoni Kristen Barat, bahwa sudah tidak sedikit sarjana syariah yang anti syariah. Sarjana Al-Qur’an  yang  menkritis Al-Qur’an. Sebuah bukti bahwa pemikiran adalah induk dari masalah keumatan belakangan ini.

Oleh karena itu, penting umat ini kembali menyadari urgensi ilmu dalam Islam, sehingga ada sebuah konsep hidup yang jelas, tegas dan diperjuangkan, jika tidak, maka dengan banyak sisi umat akan terkendali oleh peradabaan, namun pikiran melangkah bukan pada kemenangan alias pembebasan.

Bangun Tradisi Ilmu

Jika merujuk pada sejarah peradabaan Islam, sejatinya umat Islam adalah umat yang akan terus memimpin dan berpengaruh di dalam kehidupan dunia ini. Bagaimana tidak, ayat pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw adalah perintah membaca, Iqra’ Bismirabbik’.

Maknanya jelas, umat ini akan tetap di dalam kemuliaannya selama tidak meninggalkan tradisi membaca, bahkan bukan sekedar membaca, tetapi membaca dengan nama Tuhan-Mu. Artinya umat Islam sangat butuh terhadap ilmu, seperti paru-paru butuh akan oksigen.

Baca juga:

Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa umat Islam ini butuh untuk membaca, karena ini kaitannya dengan tegak dan berkembangnya Islam di dalam kehidupan Nabi Muhammad saw yang diperintahkan untuk membaca, membaca Wahyu alias Al-Qur’an itu sendiri.

Oleh karena itu usai Perang Badar seluruh tawanan kafir Quraisy diberi jaminan kebebasan jika memiliki skiil membaca dan mengajarkan kemampuan membacanya itu kepada umat Islam. Di sini maknanya jelas, kesadaran membaca adalah bagian dari manivestasi iman itu sendiri. Dan itu adalah permulaan penting untuk menuju kemajuan bahkan pembebasan. Lantas, sejauh mana umat Islam di negeri ini benar-benar serius membangun tradisi ilmu. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Kebebasan Dalam Islam

Sajadah Muslim ~ Suatu waktu pada bulan Ramadhan 1441 H, secara online sebuah lembaga studi di Jakarta menggelar diskusi online tentang “Hak-hak Kesehatan Reproduksi, Perempuan, Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits serta kebijakan Nasional”.


Seorang pembicara dengan ringan menyatakan bahwa tidak ada halangan bagi wanita haid dalam ibadah.

Menurutnya, wanita haid boleh membaca Al-Qur’an, dan berdiam diri di masjid. Lebih jauh dengan penuh semangat pembicara itu menyatakan bahwa wanita haid juga boleh melakukan puasa. Karena menurut dia, wanita haid adalah orang sakit, ketika wanita sedang haid, artinya ia sedang sakit, dengan kadar sakit haid yang berbeda-beda.

Agar terkesan tidak asbun ia pun menggunakan nash berupa hadits yang meyebutkan bahwa perintah mengqodho puasa bagi wanita haid, tidak ada pelarangan puasa secara shorih/jelas.

Jadi ia mendorong audiens untuk “berani” sekalipun masih diliputi keraguan dengan mengemukakan bahwa pendapatnya itu bersifat ijtihadai, bukan pendapat yang mainstream diketahui, tapi menurut dia bagus untuk dibahas dan didiskusikan.

Entah sadar atau tidak, untuk bisa berijtihad seorang Muslim / Muslimah harus memiliki kriteria yang ketat. Tapi inilah problem umat kekinian, merasa diri lebih dari yang sejatinya.

Diskursus dalam permasalahan agama sebagaimana di atas sering digelar akhir-akhir ini. Seringkali kesimpulan hukum yang dihasilkan nyeleneh, karena menyalahi ketetapan jumhur ulama. Bahkan ulama sedikitpun tidak pernah membahas ketetapan hukum yang sudah pasti semisal larangan puasa bagi wanita haid.

Baca juga:

Fiqih Islam memiliki karakteristik sendiri, yang tidak bisa mengikuti framework berpikir dari budaya dan peradaban di luar Islam. Oleh karena itu timbangan Islam jelas, lebih-lebih soal ubudiyah yang sejak awal Islam sudah matang dan sempurna.

Artinya, pemikiran nyeleneh itu hakikatnya ingin menjauhkan kita dari tradisi keilmuan ulama. Ijtihad juga memiliki aturan, tidak bisa satu masalah dianalogikan dengan hal lain yang berbeda, selagi sifatnya ta’abbud/ibadah semata tidak diperkenankan ijtihad ‘ dan lain sebagainya.

Apa pasal yang menyebabkan banyak orang laki-laki dan perempuan saat ini seakan-akan berlomba untuk dapat dikatakan dan dipandang progresif dan modernis? Sehingga berani menyimpulkan hukum agama, menyatakan ini halal dan itu haram.

Padahal ulama yang hapal dan memahami literatur agama dengan mumpuni saja tidak berani, jawabannya adalah kebebasan.

Kebebasan, yang mereka katakan freedom atau liberty adalah kebebasan dalam segala hal. Kebebasan  berpikir dan bertindak.

Paham kebebasan yang berasal dari Barat itu melahirkan liberalisme, paham yang selalu dibenturkan dengan agama. Paham kebebasan yang menjadikan akal sebagai pusat kendali untuk mengungkapkan dan mengetahui segala hal. Paham kebebasan ini menjangkiti  sebagian umat Islam kini. Tidak heran jika lahir pemikiran seperti yang diungkapkan pembicara itu, yang dengan lantang mengatakan wanita haid berpuasa boleh.

Islam adalah agama kebebasan, tapi bukan kebebasan sebagaimana paham yang dianut liberlisme Hurriyyah atau kebebasan dalam bahasa arab adalah lawan kata dari Riqq dan ‘ubudiyyah.

Bebas berarti tidak menjadi budak seseorang. Manusia bebas adalah manusia yang terbebas dari penghambaan kepada makhluk, ayat dalam QS Al-Fatihah yang kita ulang setiap shalat. 

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan,” adalah pernyataan bebas kita dari belenggu penghambaan kepada makhluk. Menuju penghambaan kepada Allah Swt semata.

Terbebas dari ikatan penghambaan kepada makhluk bukan berarti seorang muslimah tidak bisa berkutik dari ketetapan yang Allah tentukan untuknya. Muslimah tetap bebas untuk menentukan (ikhtiyar) jalan hidupnya.

Ikhtiar yang berarti memilih dan menentukan yang baik, memberikan makna bahwa muslim/muslimah harus memilih kebaikan untuknya di dunia dan akhirat dengan mengikuti nilai-nilai kebaikan yang telah ditentukan oleh Penciptanya dan dicontohkan oleh Qudwahnya, Muhammad.

Muslimah harus menaknai kebebasan ini sebagai kebebasan yang selaras dengan fitrahnya sebagai makhluk yang lemah.

Karenanya ia harus mengacu pada standar kebaikan dan keburukan yang telah ditentukan oleh Al-Kholiq. Adapun paham liberalisme yang dipercayai oleh sebagian muslimah sebagai paham kebebasan yang harus ditiru, tidak memiliki acuan standar baik dan buruk kecuali hawa nafsu.

Allah Swt, telah mewanti-wanti Nabi-Nya; “Sudahkah kamu melihat (tidak herankan kamu pada) orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah/sesembahan apakah kamu akan menjadi pelindungnya.”  

Jadi, jangan sampai diri merasa bebas padahal malah tunduk  menyembah hawa nafsu. Na’zdzubillah.

Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup


Back To Top