Sajadah Muslim ~ Fatma, tiba-tiba tertegun dan ragu saat Ustadz Burhan, pengisi ceramah rutin menerangkan ketidakbolehan perempuan masuk masjid jika ia sedang haid. Pasalnya, Fatma sendiri memang sedang haid. Tidak itu saja yang membuat pikirannya gusar seketika. Jika pelarangan tersebut bersifat mutlak, pastilah akan sangat sulit bagi dia dan seluruh jamaah ibu-ibu Majelis Ta’lim di kampungnya untuk mengadakan berbagai macam acara kelak. Maka ia pun merasa perlu untuk mengetahui hal ini secara lebih mendalam lagi.
Kegamangan yang dialami Fatma hanyalah tamsil belaka, namun amat sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit yang masih kebingungan dengan persoalan ini. Apalagi, mereka yang sering berkegiatan di dalam masjid, seperti halnya majelis ta’lim-majelis ta’lim kaum ibu yang ada di Indonesia. Lantas bagaimana sebenarnya persoalan ini dalam peneropongan hukum Islam ?
Dalam kaca mata fikih Islam, hukum pelarangan tersebut sebenarnya masih terjadi silang pendapat. Dengan kata lain, belum satu suara tidak mutlak. Ada sebagian ulama yang membolehkan, ada pula yang melarang.
Ada pun dari kubu ulama yang melarang perempuan haid masuk masjid punya sejumlah dalil yang kuat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Baihaqi, dan lainnya disebutkan, “Aku tidak menghalalkan masjid untuk perempuan yang haid dan orang yang junub.”
Atas dasar hadits tersebut, jumhur ulama termasuk empat imam mazhab (Imam As- Syafi’i, Imam Malik, Imam Ibnu Hanbali dan Imam Abu Hanifah) melarang perempuan yang sedang haid untuk masuk dan berdiam diri di dalam masjid, seperti duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid.
Namun bila perempuan haid hanya sekedar lewat atau melintas/melewati bagian masjid (luar maupun dalam masjid) karena ada suatu keperluan tertentu, maka hal itu dibolehkan, sepanjang tidak ada kekhawatiran bahwa perempuan itu akan mengotori masjid dengan darah haidnya.
Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw, pernah memerintahkan Aisyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Saat itu, Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Mendengar itu, Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR.Muslim ).
Bila hadits tersebut ditilik lebih lanjut, jelas terlihat bahwa salah satu faktor dilarangnya perempuan masuk masjid adalah kekhawatiran akan tercecernya darah haid di masjid yang akan menyebabkan hilangnya kesucian masjid. Namun, bagaimana memastikan kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi ?
Di zaman serba praktis dan efesien seperti sekarang ini, perempuan haid tidak akan merasa khawatir darahnya akan menembus dan berceceran kemana-mana oleh karena beragamnya model pembalut wanita yang bagus yang dapat menahan air hingga tidak merembes kemana-mana. Ia bisa memilah-milah mana pembalut paling nyaman dan aman untuk digunakan saat haid.
Dengan demikian, bila pembalut wanita bisa menggaransi bahwa darah tidak akan tercecer, maka hal ini pun tentu akan menjadi satu pertimbangan bahwa perempuan haid dibolehkan masuk masjid. Berbeda dengan keadaan dan situasi tempo dulu yang masih sulit untuk menemukan pembalut wanita tahan air.
BACA JUGA :
Bila pelarangan masuk masjid dialami pada perempuan haid, namun dalam ranah fikih Islam menyebutkan bahwa perempuan yang istihadhah (keluarnya darah terus-menerus dari kemaluannya melebihi batas masa haid) tetap boleh masuk masjid. Tentu saja hal ini seakan menyiratkan kontradiksi. Bukankah tidak berbeda antara perempuan haid dan istihadhah lantaran sama-sama mengeluarkan darah?
Dari sini muncul pemikiran bahwa pelarangan perempuan haid masuk masjid bukan semata-mata khawatir darah haid akan tercecer dan mengotori masjid, melainkan ada pertimbangan lain. Larangan yang bukan karena sebab-sebab yang logis dan teknis. Pertimbangan inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh banyak ulama yang setuju pada pelarangan perempuan haid untuk masuk masjid murni bersifat Ubudiyah dan ritual keagamaan. Sama seperti masalah wudhu untuk shalat, bukan semata-mata kebersihan. Karena kalau semata-mata pertimbangan kebersihan, misalnya saat seorang buang angin, kenapa ia harus berwudhu lagi, padahal secara fisik bagian yang tadi dicuci ketika wadhu masih bersih?
Wanita yang haid tidak boleh berdiam di masjid semata-mata bukan karena takut darahnya mengotori masjid, tetapi karena memang demikianlah Rasulullah saw mengajarkan agama ini kepada kita sebagaimana dalam firman-Nya. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin, dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
Namun, sebagian ulama lainnya tidak menerima pendapat itu, karena selama tempat itu bernama masjid, maka semua bagiannya termasuk terlarang untuk di diami wanita haid atau yang sedang junub.
Sementara dari kubu yang membolehkan perempuan haid masuk masjid pun tak kala jelas menguarai dalil. Di antaranya adalah Imam Dawad Azh- Zhahiri, yang membolehkan perempuan haid dan orang yang sedang nujub untuk berdiam diri di masjid.
Azh-Zhahiri, mendasarkan dalilnya dari sabda Nabi saw kepada Aisyah ra, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa”i) antara Shafa dan Marwah. Aku laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda. “Lakukanlah apa yang biasa dilakukan dalam haji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci.” ( HR. Bukhari).
Dari itu, jelas terlihat bahwa pelarangan yang berlaku bagi perempuan haid adalah melakukan thawaf, bukan melarang mereka masuk ke dalam masjid, termsuk melarang melakukan aktivitas di dalamnya.
Dalil lainnya adalah sebuah riwayat yang menyebutkan ada seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada masa Nabi saw, tetapi tidak ada satu dalil pun yang menyatakan bahwa Nabi saw, memerintahkan wanita itu untuk meninggalkan masjid saat dia sedang haid.
Akan tetapi, sebagian ulama ada yang mencoba memberikan jalan keluar bagi masalah ini dengan membagi masjid menjadi dua bagian. Bagian yang secara formal disebut masjid dan bagian yang tidak termasuk masjid. Misalnya saja bagian dalam masjid yang hanya khusus di pakai untuk shalat menjadi bagian formal masjid sehingga dibatasi tidak boleh dimasuki oleh perempuan yang sedang haid. Sementara bagian luar masjid yang jarang atau tidak dipakai untuk shalat dibolehkan bagi perempuan yang haid.
Dengan pendapat itu, mereka menetapkan bahwa halaman masjid bukan termasuk bagian masjid yang haram didiami oleh orang yang sedang haid atau junub. Begitu juga teras atau serambinya.
Yang menjadi soal kemudian, masjid-masjid di Indonesia seringkali diramaikan oleh kegiatan keagamaan seperti ceramah agama, ta’lim dan lain sebagainya sebagai bentuk dari rangkaian agenda memakmurkan masjid. Dengan kata lain masjid dipakai bukan hanya untuk shalat. Sementara jamaah yang datang untuk memakmurkan masjid tak hanya sebatas kaum laki-laki, atau kaum perempuan yang suci saja. Sebab siapapun berhak mendapatkan pencerahan keagamanan dengan turut serta memakmurkan masjid. Dalam konteks ini, perempuan haid tentu tidak akan mendapatkan akses tersebut bila dirinya terlarang untuk masuk masjid. Padahal maslahat yang ditimbulkan sangat besar bagi dirinya.
Maka untuk menjembataninya pendapat kalangan ulama yang membolehkan maupun yang membenarkan perempuan haid untuk masuk masjid dengan catatan atau syarat-syarat tertentu, bisa dipegang atau dirujuk dalam membantu mereka yang termotivasi untuk masuk masjid.
Sumber : Fikih Nisa, Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah
Labels:
Ibadah Kaum Wanita,
Masalah Haid
Thanks for reading Terlarangkah Perempuan Haid Masuk Masjid ?. Please share...!
0 Comment for "Terlarangkah Perempuan Haid Masuk Masjid ?"