Sajadah Muslim ~ Haid merupakan salah satu hal kodrat yang melekat pada setiap perempuan sehingga ketentuan ini tak bisa dibantah ataupun direkayasa oleh apapun dan siapapun. Kehendak Allah akan hal ini tentu saja membawa implikasi tersendiri bagi perempuan, baik dalam persoalan kesehatan dirinya, organ reproduksi, maupun urusan ibadah.
Allah menegaskan dalam Kitab-Nya. “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah “Haid itu adalah suatu kotarn”. Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci.”
Kaitannya dalam urusan ibadah, tentu saja perempuan memiliki pakem khusus yang berbeda dari laki-laki. Sebab dalam kondisi haid, ia diwajibkan untuk meninggalkan ritual wajib seperti shalat, puasa Ramadhan, i’tikaf dan amalan wajib lainnya. Siklus haid menyebabkan mereka tak bisa melaksanakan ibadah secara penuh. Akan tetapi tidak sempurnanya mereka melakukan ibadah bukan berarti kaum muslimah kerdil dan lebih rendah dari laki-laki dalam hal ibadah. Sebab haid merupakan hak kodrati dari Allah di mana maksud dan hikmah besar terkandung di dalamnya.
Persoalan yang sering muncul dan dialami setiap muslimah dalam hal ini sebenarnya ada pada wilayah teknis. Salah satu misalnya adalah berapa lama waktu haid, bagaimana mengetahui masa suci dan masa haid dan seterusnya. Sebab, rentang waktu atau yang dikenal dengan istilah siklus haid pada setiap perempuan berbeda-beda.
Baca Juga : Cara Bersuci Setelah Masa Haid
Seorang perempuan biasanya haid selama enam hari misalnya, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari, atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari. Atau bisa juga terjadi maju mundur waktu haid pada akhir bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir bulan. Bagaimana fikih islam menuangkan hal ini ?
Ulama berbeda pandangan mengenai masa haid. Ibnu Al-Mundzir, Al-Darimi dan Ibnu Taimiyyah, juga Imam Malik berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya. Padangan ini menganggap bahwa hal tersebut benar berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil yang dijadikan rujukan salah satunya adalah ayat di atas, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Dalam ayat tersebut yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya haid dalam sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari, misalnya. Hal ini menunjukkkan bahwa illat hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya haid itu sendiri. Jadi, jika haid muncul, berlakulah hukum itu, dan jika telah suci, maka tidak berlaku lagi hukum-hukum haid.
Adapun dalil yang bersumber dari hadits diantaranya diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Aisyah yang tengah haid ketika ia dalam keadaan ihram untuk umrah. “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum engkau suci. Kata Aisyah; “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Sementara dalam Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepada Aisyah. “Tunggulah jika engkau suci, maka keluarlah ke Tan’im”. Dalam hadits ini yang dijadikan Nabi saw sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya haid.
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan sebenarnya juga menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus di jadikan patokan. Semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar. Tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat, tentu saja pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi, menarik pula untuk dicermati apa yang dilakukan Imam Syafi’i terkait penelitian yang dilakukannya dalam persoalan ini. Imam syafi’i, disebutkan dalam banyak literatur kitab-kitab fikih, telah melakukan survey yang dikenal dalil istiqra’ pada sejumlah perempuan haid. Dan hasil penelitian yang dilakukan, umumnya, masa haid perempuan berkisar seminggu, sekurang-kurangnya sehari semalam, dan paling lama tidak melebihi lima belas hari. Dalam kaidah ushuf fikih, hukum kebiasaan pun bisa dijadikan satu ketetapan hukum.
Riset Imam Syafi’i ini cukup dibilang populer bahkan dijadikan patokan kaum muslimah di berbagai belahan dunia, khususnya yang beraliran mazhab Syafi’iyah. Bahkan tak dimungkiri, riset tersebut sejalan dengan pengamatan medis secara umum masa haid perempuan memang demikian adanya. Cara ini dianggap lebih mudah dalam menetapkan ketentuan mana darah haid dan selainnya (Istihadhah). Karena bila melebihi batas maksimal (lima belas hari), darah yang keluar adalah darah istihadhah.
Sementara pandangan mazhab Hambali menyatakan bahwa harus merujuk pada kebiasaan yang berlaku, atau masa haid yang biasa bagi wanita (hampir sama seperti Imam Syafi’i), serta harus melihat perbedaan wilayah dan negaranya, baik cuacanya, waktunya, sehingga semua itu berimbas pada masa berlangsungnya haid.
DARAH HAID KELUAR PUTUS-PUTUS
Darah haid adakalanya keluar terputus-putus, yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar, misalnya. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi:
Pertama : Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu (terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama), maka darah itu adalah darah istihadhah.
Kedua : Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita, tetapi kadang kala saja, sedang dia mempunyai masa suci yang tepat. Madzhab Imam Asy Syafi’i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, hal ini masih termasuk dalam hukum haid.
Adapun yang masuhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hambali. Jika darah keluar, berarti darah haid, dan jika berhenti berarti suci, kecuali apabila jumlah masa haidnya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al Mughni. “Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seharusnya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, sebab dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah swt telah berfirman dan “Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj ayat 79) Wallahu A’lam bis shawab.
Sumber : Fikih Nisa, Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah
Labels:
Masalah Haid
Thanks for reading MENGHITUNG MASA HAID. Please share...!
0 Comment for "MENGHITUNG MASA HAID"