Membahas Tentang Seputar Ilmu Agama Islam

Bolehkah Wanita Mandi Junub Tidak Membasahi Rambutnya

Sajadah Muslim ~ Boleh wanita mandi junub tanpa membasahi rambutnya ?


Jawabannya ialah :

Dalam masalah ini, para ulama telah berbeda pendapat, Sebagaimana mereka wajib membasahi rambutnya, tanpa ada satupun rambut yang ketinggalan tidak kebasahan. Sebagian yang lain tidak kewajiban membasahi seluruh rambutnya, akan tetapi cukup dengan menuangkan air tiga kali diatas kepalanya, sehingga tidak kewajiban pula membuka sanggul. 

Pendapat pertama, bahwa wanita mandi junub ia wajib membasahi seluruh rambutnya dengan  sempurna tanpa ada satupun rambut yang ketinggalan. Mereka beralasan hadits :

"Ali bin Abi Thalib ra berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa membiarkan satu tempat rambut yang berjunub dengan tiada kena air, maka Allah akan membuat kepalanya begini dan begini dari neraka". ali bin Abi Thalib berkata : "Karena itu aku memotong rambutku". (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)

Juga beralasan hadits sebagai berikut :

"Abu Hurairah ra berkata : "Rasulullah saw pernah bersabda: "Setiap rambut ada janabatnya. Karena itulah maka basahilah rambutmu dan bersihkan kulitmu". (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Baihaqi)

Kedua hadits diatas telah memerintahkan kepada kita didalam mandi junub supaya membasahi seluruh rambut tanpa ada satupun rambut yang ketinggalan agar kita selamat dari ancaman siksa Allah. Adapun alasan yang dikemukakan oleh golongan kedua, bahwa cukup dengan menuangkan air ke kepala tanpa membuka sanggul, mereka beralasan hadits :

Telah berkata Ummu Salamah ra kepada Rasulullah saw: “Aku adalah seorang wanita yang menyanggul rambutku. Karena itu, apakah aku harus membuka sanggul itu apabila (mandi) haidh dan jinabat?" beliau menjawab : "Tidak usah, melainkan cukuplah kamu menyiram kepalamu 3 kali, maka kamu bisa jadi bersih". (HR. Muslim)

Walhasil, golongan pertama harus membasahi seluruh rambut tanpa ada satupun rambut yang ketinggalan, sedang golongan kedua cukup menyiramkan air tiga kali di kepala tanpa membuka sanggul.

Menanggapi kedua pendapat ini, kami cenderung pada pendapat kedua mengingat haditsnya shahih. Berbeda dengan pendapat pertama, keshahihan haditsnya disangsikan oleh sebagian besar ahli hadits.

Oleh Ustadz Labib Mz
 

Bolehkah Wanita Belum Mandi Haidh Bercampur Suami?

Sajadah Muslim ~ Bolehkah wanita yang sudah bersih dari haidh tetapi ia belum mandi lantas bercampur dengan suami ?


Jawabannya ialah :

Wanita yang bersih dari haidh itu tidak boleh dis*tubuhi oleh suami, kecuali bila ia sudah mandi.  Kebanyakan ulama' menghukumi haram, karena mereka beralasan firman Allah berikut ini :

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh.  Katakanlah : "Haidh  itu adalah kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum  mereka sud. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang  diperintahkan Allah kepadamu....".  (QS. Al Baqarah : 222)

Oleh Ustadz Labib Mz
 

Yang Perlu Di Ketahui Tentang Darah Perempuan

Sajadah Muslim ~ Berapakah darah perempuan itu? Darah perempuan itu ada tiga, yaitu :
  1. Darah haidh
  2. Darah nifas
  3. Darah istihadhah

Darah Haidh

Apakah darah haidh itu?
                           
Darah haidh yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan yang sehat dan sudah baligh, tanpa suatu sebab.

Berapakah lamanya haidh itu?

Adapun lamanya haidh, minimal sehari semalam (24 jam) dan maksimal lima belas hari, tetapi umumnya adalah enam hari atau tujuh hari. Jika lebih dari 15 hari maka  disebut darah istihadhah. Paling sedikit masa suci antara dua haidh yaitu 15 hari, sedangkan yang paling  banyak masa suci itu tidak ada batasnya.

Darah Nifas

Apakah darah nifas itu?

Darah nifas yaitu darah yang keluar dari rahim perempuan setelah melahirkan.

Berapakah lamanya nifas itu?

Adapun lamanya nifas, paling sedikit satu lahdhah (sekejab/sesaat) dan paling banyak  60 hari, tetapi umumnya 40 hari. Jika lebih dari 60 hari darah masih  keluar, maka  termasuk darah istihadhah.

Darah Istihadhah

Apakah darah istihadhah itu?

Darah istihadhah, yaitu darah penyakit (bukan darah haidh atau nifas) dengan suatu  sebab, misalnya sakit atau lainnya.

Larangan Bagi Orang yang Haidh dan Nifas

Apakah larangan bagi orang yang haidh dan nifas? Larangan bagi orang yang haidh  dan nifas ada 8, yaitu  :
  1. Shalat (tidak wajib qadha).
  2. Puasa (wajib qadha di waktu yang lain).
  3. Thawaf (mengelilingi Ka'bah di Makkah).
  4. Membaca, menyentuh, atau membawa kitab suci Al-Qur'an .
  5. Berhenti atau lewat di dalam masjid, jika dikhawatirkan darah menetes pada  saat itu.
  6. Bers*tubuh.
  7. Thalak (bercerai).
  8. Niat menghilangkan hadats  besar.
Oleh S.A. Zainal Abidin

Cara Mandi Wajib Yang Benar

Sajadah Muslim ~ Ada berapakah yang mewajibkan mandi? Yang mewajibkan mandi ada enam, yaitu :
  1. Bers*tubuh (jima') meskipun tidak keluar m*(a)ni (sp*rma).
  2. Keluar m*(a)ni dengan sebab mimpi atau lainnya.
  3. Mati yang bukan mati syahid.
  4. Haidh (bagi perempuan).
  5. Nifas (bagi perempuan).
  6. Wiladah (bersalin atau beranak).

Fardhu Mandi

Berapakah fardhu mandi itu? Fardhu mandi itu ada tiga, yaitu :

1. Niat, bersamaan membasuh bagian tubuh. Lafadh niatnya.

Nawaitu raf'al-hadatsil-akbari 'an jamii 'il-badani fardhan lillaahi Ta 'aalaa.
Artinya: Aku niat menghilangkan hadats besar dari seluruh tubuh, fardhu karena Allah Ta'ala.

2. Menghilangkan najis (kotoran) apabila tampak wujud najisnya pada tubuh.
3. Meratakan air ke seluruh tubuh.

Sunnat Mandi

Berapakah sunnat mandi itu? Sunnat mandi ada enam, yaitu :
  1. Membaca "Bismillaahir-rahmaanir-rahiim".
  2. Berwudhu dahulu sebelum mandi.
  3. Menghadap qiblat.
  4. Menggosok seluruh tubuh dengan tangan.
  5. Membasuh tubuh sampai tiga kali.
  6. Mendahulukan anggota yang kanan dari yang kiri.
Oleh S.A. Zainal Abidin

Terlarangkah Perempuan Haid Masuk Masjid ?

Sajadah Muslim ~ Fatma, tiba-tiba tertegun dan ragu saat Ustadz Burhan, pengisi ceramah rutin menerangkan ketidakbolehan perempuan masuk masjid jika ia sedang haid. Pasalnya, Fatma sendiri memang sedang haid. Tidak itu saja yang membuat pikirannya gusar seketika. Jika pelarangan tersebut bersifat mutlak, pastilah akan sangat sulit bagi dia dan seluruh jamaah ibu-ibu Majelis Ta’lim di kampungnya untuk mengadakan berbagai macam acara kelak. Maka ia pun merasa perlu untuk mengetahui hal ini secara lebih mendalam lagi.


Kegamangan yang dialami Fatma hanyalah tamsil belaka, namun  amat sering dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit yang masih kebingungan dengan persoalan ini. Apalagi, mereka yang sering berkegiatan di dalam masjid, seperti halnya majelis ta’lim-majelis ta’lim kaum ibu yang ada di Indonesia. Lantas bagaimana sebenarnya persoalan ini dalam peneropongan hukum Islam ?

Dalam kaca mata fikih Islam, hukum pelarangan tersebut sebenarnya masih terjadi silang pendapat. Dengan kata lain, belum satu suara tidak mutlak. Ada sebagian ulama yang membolehkan, ada pula yang melarang.

Ada pun dari kubu ulama yang melarang perempuan haid masuk masjid punya sejumlah dalil yang kuat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Baihaqi, dan lainnya disebutkan, “Aku tidak menghalalkan masjid untuk perempuan yang haid dan orang yang junub.”

Atas dasar hadits tersebut, jumhur ulama termasuk empat imam mazhab (Imam As- Syafi’i, Imam Malik, Imam Ibnu Hanbali dan Imam Abu Hanifah) melarang perempuan  yang sedang haid untuk masuk dan berdiam diri di dalam masjid, seperti duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid.

Namun bila perempuan haid hanya sekedar lewat atau melintas/melewati bagian masjid  (luar maupun dalam masjid) karena ada suatu keperluan tertentu, maka hal itu  dibolehkan, sepanjang tidak ada kekhawatiran bahwa perempuan itu akan mengotori masjid dengan darah haidnya.

Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw, pernah memerintahkan Aisyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Saat itu, Aisyah  berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Mendengar itu, Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR.Muslim ).

Bila hadits tersebut ditilik lebih lanjut, jelas terlihat bahwa salah satu faktor dilarangnya perempuan masuk masjid adalah kekhawatiran akan tercecernya darah haid di masjid yang akan menyebabkan hilangnya kesucian masjid. Namun, bagaimana memastikan kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi ?

Di zaman  serba  praktis dan efesien seperti sekarang ini, perempuan haid tidak akan merasa khawatir darahnya  akan menembus dan berceceran kemana-mana oleh karena beragamnya model pembalut wanita yang bagus yang dapat menahan air hingga tidak merembes kemana-mana. Ia bisa memilah-milah mana pembalut paling nyaman dan aman untuk digunakan saat haid.

Dengan demikian, bila pembalut wanita bisa menggaransi bahwa darah tidak akan tercecer, maka hal ini pun tentu akan menjadi satu pertimbangan bahwa perempuan haid dibolehkan masuk masjid. Berbeda  dengan keadaan dan situasi tempo dulu yang masih sulit untuk menemukan pembalut wanita tahan air.

BACA JUGA :
Bila pelarangan masuk masjid dialami pada perempuan haid, namun dalam ranah fikih Islam menyebutkan bahwa perempuan yang istihadhah (keluarnya darah terus-menerus dari kemaluannya melebihi batas masa haid) tetap boleh masuk masjid. Tentu saja hal ini seakan menyiratkan kontradiksi. Bukankah tidak berbeda antara  perempuan haid dan istihadhah lantaran sama-sama mengeluarkan darah?

Dari sini muncul pemikiran bahwa pelarangan perempuan haid masuk masjid bukan semata-mata khawatir darah haid akan tercecer dan mengotori masjid, melainkan ada pertimbangan lain. Larangan yang bukan karena sebab-sebab yang logis dan teknis. Pertimbangan inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh banyak ulama yang setuju pada pelarangan perempuan haid untuk masuk masjid murni bersifat Ubudiyah dan ritual keagamaan. Sama seperti masalah wudhu untuk shalat, bukan semata-mata  kebersihan. Karena kalau semata-mata pertimbangan kebersihan, misalnya saat seorang buang angin, kenapa ia harus berwudhu lagi, padahal secara fisik bagian yang tadi dicuci  ketika wadhu masih bersih?

Wanita yang haid tidak boleh berdiam di masjid semata-mata bukan karena takut darahnya mengotori masjid, tetapi karena memang demikianlah Rasulullah saw mengajarkan agama ini kepada kita sebagaimana dalam firman-Nya. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin, dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka  pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”

Namun, sebagian ulama lainnya tidak menerima pendapat itu, karena  selama  tempat  itu bernama masjid, maka semua bagiannya termasuk terlarang untuk di diami wanita  haid atau yang sedang junub.

Sementara dari kubu yang membolehkan perempuan haid masuk masjid pun tak kala jelas menguarai dalil. Di antaranya adalah Imam Dawad Azh- Zhahiri, yang membolehkan perempuan haid dan orang yang sedang nujub untuk berdiam  diri di masjid.

Azh-Zhahiri, mendasarkan dalilnya dari sabda Nabi saw kepada Aisyah ra, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa”i) antara Shafa dan Marwah. Aku laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda. “Lakukanlah apa yang biasa dilakukan dalam haji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci.” ( HR. Bukhari).

Dari itu, jelas terlihat bahwa pelarangan yang berlaku bagi perempuan haid adalah melakukan thawaf, bukan melarang mereka masuk ke dalam masjid, termsuk melarang melakukan aktivitas di dalamnya.
Dalil lainnya adalah sebuah riwayat yang menyebutkan ada seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada masa Nabi saw, tetapi tidak ada satu dalil pun yang menyatakan bahwa Nabi saw, memerintahkan wanita itu untuk meninggalkan masjid saat dia sedang haid.

Akan tetapi, sebagian ulama ada yang mencoba memberikan jalan keluar bagi masalah ini dengan membagi masjid menjadi dua bagian. Bagian yang secara formal disebut masjid dan bagian yang tidak termasuk masjid. Misalnya saja bagian dalam masjid  yang hanya khusus di pakai untuk shalat menjadi bagian formal masjid sehingga dibatasi  tidak boleh dimasuki oleh perempuan yang sedang haid. Sementara bagian luar masjid yang jarang atau tidak dipakai untuk shalat dibolehkan bagi perempuan yang haid.

Dengan pendapat itu, mereka menetapkan bahwa halaman masjid bukan termasuk bagian masjid yang haram didiami oleh orang yang sedang haid atau junub. Begitu juga teras atau serambinya.

Yang menjadi soal kemudian, masjid-masjid di Indonesia seringkali diramaikan oleh kegiatan keagamaan seperti ceramah agama, ta’lim dan lain sebagainya sebagai bentuk  dari rangkaian agenda memakmurkan masjid. Dengan kata lain masjid dipakai  bukan hanya untuk shalat. Sementara jamaah yang datang untuk memakmurkan masjid tak hanya sebatas kaum laki-laki, atau kaum perempuan yang suci saja. Sebab siapapun berhak mendapatkan pencerahan keagamanan dengan turut serta  memakmurkan masjid. Dalam konteks ini, perempuan haid tentu tidak akan mendapatkan akses tersebut bila dirinya terlarang untuk masuk masjid. Padahal maslahat yang ditimbulkan sangat besar bagi dirinya.

Maka untuk menjembataninya pendapat kalangan ulama yang membolehkan maupun yang membenarkan perempuan haid untuk masuk masjid dengan catatan atau syarat-syarat tertentu, bisa dipegang atau dirujuk dalam membantu mereka yang termotivasi untuk masuk masjid.

Sumber : Fikih Nisa, Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah

MENGHITUNG MASA HAID

Sajadah Muslim ~ Haid  merupakan salah satu hal kodrat yang melekat pada setiap perempuan sehingga ketentuan ini tak bisa dibantah ataupun direkayasa oleh apapun dan siapapun. Kehendak Allah akan hal ini tentu saja membawa implikasi tersendiri bagi  perempuan, baik dalam persoalan kesehatan dirinya, organ reproduksi, maupun urusan ibadah.

Allah menegaskan dalam Kitab-Nya. “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah “Haid itu adalah  suatu kotarn”. Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari  wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci.”


Kaitannya dalam urusan ibadah, tentu saja perempuan memiliki pakem khusus yang berbeda dari laki-laki. Sebab dalam kondisi haid, ia diwajibkan untuk meninggalkan ritual wajib seperti shalat, puasa Ramadhan, i’tikaf dan amalan wajib lainnya. Siklus  haid menyebabkan mereka  tak bisa melaksanakan ibadah secara penuh. Akan tetapi tidak sempurnanya mereka melakukan ibadah bukan berarti kaum muslimah kerdil dan lebih rendah dari laki-laki dalam hal ibadah. Sebab haid merupakan hak kodrati dari Allah di mana maksud dan hikmah besar terkandung di dalamnya.

Persoalan yang sering  muncul dan dialami setiap muslimah dalam hal ini sebenarnya ada pada wilayah teknis. Salah satu misalnya adalah berapa lama waktu haid, bagaimana mengetahui masa suci dan masa haid dan seterusnya. Sebab, rentang waktu atau yang dikenal dengan istilah siklus haid pada setiap perempuan berbeda-beda.

Seorang perempuan biasanya haid selama  enam hari misalnya, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari, atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari. Atau bisa juga terjadi maju mundur waktu haid pada akhir bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir bulan. Bagaimana fikih islam menuangkan hal ini ?

Ulama berbeda pandangan mengenai masa haid. Ibnu Al-Mundzir, Al-Darimi dan Ibnu Taimiyyah, juga Imam Malik berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya. Padangan ini menganggap bahwa hal tersebut benar berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan logika.

Dalil yang dijadikan rujukan salah satunya adalah ayat di atas, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

Dalam ayat tersebut yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya haid dalam sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari, misalnya. Hal ini menunjukkkan bahwa illat hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya haid itu sendiri. Jadi, jika haid muncul, berlakulah hukum itu, dan jika telah suci, maka tidak berlaku lagi hukum-hukum haid.

Adapun dalil yang bersumber dari hadits diantaranya diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Aisyah yang tengah haid ketika ia dalam keadaan ihram untuk umrah. “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum engkau suci. Kata Aisyah; “Setelah masuk hari raya  kurban, barulah aku suci”.

Sementara dalam Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepada Aisyah. “Tunggulah jika engkau suci, maka keluarlah ke Tan’im”. Dalam hadits ini yang  dijadikan Nabi saw sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya haid.

Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan sebenarnya juga menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus di jadikan patokan. Semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar. Tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat, tentu saja pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Akan tetapi, menarik pula untuk dicermati apa yang dilakukan Imam Syafi’i terkait penelitian yang dilakukannya dalam persoalan ini. Imam syafi’i, disebutkan dalam banyak  literatur kitab-kitab fikih, telah melakukan survey yang dikenal dalil istiqra’ pada sejumlah perempuan haid. Dan hasil penelitian yang dilakukan, umumnya, masa haid perempuan berkisar seminggu, sekurang-kurangnya sehari semalam, dan paling lama tidak melebihi lima belas hari. Dalam kaidah ushuf fikih, hukum kebiasaan pun bisa  dijadikan satu ketetapan hukum.

Riset Imam Syafi’i ini cukup dibilang populer bahkan dijadikan patokan kaum muslimah di berbagai belahan dunia, khususnya yang beraliran mazhab Syafi’iyah. Bahkan tak dimungkiri, riset tersebut sejalan dengan pengamatan medis secara umum masa haid perempuan memang demikian adanya. Cara ini dianggap lebih mudah dalam menetapkan ketentuan mana  darah haid  dan selainnya (Istihadhah). Karena bila melebihi batas maksimal (lima belas hari), darah yang keluar adalah darah istihadhah.

Sementara pandangan mazhab Hambali menyatakan bahwa harus merujuk pada kebiasaan yang berlaku, atau masa haid yang biasa  bagi wanita (hampir sama seperti Imam Syafi’i), serta harus melihat perbedaan wilayah dan negaranya, baik cuacanya, waktunya, sehingga semua itu berimbas pada masa berlangsungnya haid.

DARAH HAID KELUAR PUTUS-PUTUS

Darah haid adakalanya keluar terputus-putus, yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar, misalnya. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi:

Pertama : Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu (terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama), maka darah itu adalah darah istihadhah.

Kedua : Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita, tetapi kadang kala saja, sedang dia mempunyai masa suci yang tepat. Madzhab Imam Asy Syafi’i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, hal ini masih termasuk dalam hukum haid.

Adapun yang masuhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hambali. Jika  darah keluar, berarti darah haid, dan jika berhenti berarti suci, kecuali apabila jumlah masa haidnya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah istihadhah.

Dikatakan dalam kitab Al Mughni. “Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seharusnya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan  inilah yang shahih, sebab dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita  pada setiap saat berhenti  keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah swt telah berfirman dan “Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj ayat 79) Wallahu A’lam bis shawab.   

Sumber : Fikih Nisa, Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah

Cara Bersuci Setelah Masa Haid

Sajadah Muslim ~ Saat darah atau bercak berupa flek yang menandakan seorang perempuan haid  tidak ada lagi, wajib baginya untuk segera bersuci. Ini dilakukan agar ia bisa kembali seperti semula mengerjakan amalan ibadahnya. Jika hal tersebut tidak cepat dilakukan, ini dihukumi berdosa lantaran sengaja menunda-nunda kewajiban beribadah. Sebagimana sabda Rasulullah saw, “Apabila kamu sedang mengalami haid, maka tinggalkanlah shalat dan apabila telah berhenti, maka mandi dan shalatlah” (HR. Bukhari)

Sebagaimana diketahui bahwa haid adalah salah satu, najis yang menghalangi wanita untuk melaksanakan ibadah shalat dan puasa. Maka bila ia telah selesai dari haid, ia pun diperintahkan untuk segera bersuci, atau lazimnya disebut mandi haid. Mandi haid bukan sekedar  mandi biasa, melainkan mandi dengan  serangkaian tata cara khusus yang menandakan bahwa seorang wanita haid telah suci dari haidnya. Dengan begitu, ia bisa kembali  melaksanakan ibadahnya, baik ibadah wajib maupun yang sunnah.


Beberapa ketentuan yang dijabarkan berikut adalah cara-cara yang dianggap baik menurut para ulama yang  juga disandarkan pada sejumlah hadits-hadits Nabi. Dengan  melaksanakannya, kaum perempuan yang bersuci dari haidnya diharapkan lebih paripurna dalam menjalankan ibadah. Berada dalam kondisi yang suci, serta siap secara lahir maupun batin kembali beribadah.

CARA MANDI HAID

Dalam Fiqih Lima Mazhab karya  Muhammad Jawad Mughniyah, tata cara mandi haid adalah sama dengan mandi junub, baik dari segi airnya, wajib dengan menggunakan air mutlak (suci dan mensucikan), wajib suci badannya, dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke badan, niat, memulai dari kepala, kemudian dari bagian tubuh yang kanan, lalu bagian tubuh yang kiri. Hal ini disepakati oleh imam  mazhab yang empat (mazhab Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi). Adapun mazhab Imamiyah menyatakan, dengan menceburkan semua badan sekaligus ke dalam airpun sebenarnya sudah cukup (dianggap telah bersuci).

Selain pendapat imam mazhab di atas, kesimpulan dari beberapa hadits pun menekankan  hal-hal sebagai berikut :
  1. Membaca basmalah, dengan niat  menghilangkan hadits besar melalui mandi. Selanjutnya membasuh kedua telapak tangan tiga kali
  2. Lalu beristinja  dan membersihkan segala  kotoran yang terdapat pada kemaluan.
  3. Disunnahkan untuk berwudhu dan menyempurnakan  wudhunya (dimulai dengan bagian yang kanan ), seperti hendak melaksanakan shalat. Akan tetapi, bila tidak  memungkinkan, berkumur dan ber-istinja disela-sela kegiatan sebelum mandi pun dianggap telah mencukupi.
  4. Menyiramkan air ke atas kepala tiga kali, menggosok-gosokkannya sampai air  mengenai pangkal rambut. Lalu mengguyurkan air ke badan, dimulai dengan bagian  yang kanan, lalu dilanjutkan dengan bagian yang kiri..Alangkah baiknya ketika menyela-nyela rambut tersebut dicampur dengan sabun, shampo atau alat pembersih lainnya.
Dari Aisyah ra, beliau berkata, “Kami  (istri-istri Nabi), apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri,” (HR. Bukhari dan Abu Daud).

Saat mandi, penting juga diperhatikan bagian ketiak, lutut, dan pusar, sehingga bagian-bagian tersebut benar-benar terkena air. Demikian juga dengan kulit kepala. Tidak wajib membuka jalinan rambut, ketika mandi (terutama jika jalinan rambut sulit untuk diurai), jalinan rambutnya ketika mandi karena junub, berdasarkan hadits berikut. Aku (Ummu Salamah) berkata “Wahai Rasulullah aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambut-ku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda : “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (HR. Muslim, Abu Daud, an Nasa’i Tirmidzi).

Senada dengan hal di atas, Syaikh Mushthafa Al-Adawy pun menyatakan bahwa, “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haid, baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak. Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut, maka dia (wanita tersebut) menguraikannya bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya. Wallahu A’lam “(Dinukil  dari Jaami’ Ahkaam An-Nisaa).

Dari Aisyah bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi saw, tentang mandi dari haid. Maka Rasulullah pun memerintahkan tata cara bersuci dan bersabda: “Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata ; “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Ia  bersabda, “Maha Suci Allah, bersucilah!” Maka Aisyah menarik  wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu  bekas darah itu  dengannya (potongan kain/kapas)” (HR. Muslim).

Namun jika sejumlah wangi-wangian tersebut  tidak ada, air pun sebenarnya sudah dianggap cukup sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Asma’. Hendaklah  salah seorang di antara kalian mengambil daun bidara dan air, kemudian bersuci dengannya sebaik mungkin. Setelah itu menyiramkan air ke kepala, dan memijatnya dengan kuat, sehingga meresap sampai ke kulit kepala, lalu  menyiramkan air ke seluruh tubuhnya dan setelah itu mengambil potongan kain yang diberi parfum. Kemudian menggunkannya untuk bersuci (HR. Muslim).

Hal serupa juga diperjelas dalam Jaami” Ahkaam an-Nisaa” dimana An Nawawi   mengatakan : “Jumhur ulama berkata (bekas darah)   adalah farji (kemaluan)” Ia menambahkan : “Di antara sunnah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.”

YANG MAKRUH SAAT MANDI

Mandi di tempat yang mengandung najis. Karena di khawatirkan najis tersebut akan mengenai tubuhnya. Mandi di air yang tidak mengalir. Sebagaimana hadits Nabi saw, “Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang tidak mengalir, sementara pada saat itu ia dalam keadaan junub.” (HR. Muslim).

Wajib mandi dibalik tabir. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya  Allah ‘Azza wa Jalla itu Maha Malu dan Dia sangat  mencintai rasa malu. Karena itu, apabila  salah seorang di antara kalian mandi, maka hendaklah ia menutup diri dari pandangan orang lain.” (HR. Abu Daud).

Makruh berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Sabda Rasulullah saw menyebutkan, “Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam menggunakan air, meskipun pada saat itu berada di sungai yang airnya mengalir.

JUNUB SAAT HAID

Bila seorang wanita yang sedang menjalani masa haid  memiliki kewajiban untuk mandi junub, maka ia tidak harus mandi sampai haidnya selesai. Apabila ia tetap melaksanakan mandi junub ketika sedang menjalani masa haid, maka  mandinya dianggap sah dan dapat menghilangkan junubnya, sementara hukum haid masih berlaku hingga masa haidnya selesai.

Sumber : Fikih Nisa, Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah

HAID DAN ISTIHADHAH

Sajadah Muslim ~ Mbak, bawa pembalut ke kamar mandi itu untuk apa? Haid ? kalau haid, kok masih puasa? Memang boleh? Tanya Sarah kepada Nida, teman sekantornya yang selama bulan puasa selalu membawa pembalut wanita ketika hendak shalat Dhuhur dan Ashar. “Tetap puasa, alhamdulillah. Ini kan  hanya istihadhah. Tapi karena darahnya lumayan deras, harus aku ganti pembalutnya,” terang Nida sambil tersenyum menjelaskan. Rupanya Sarah masih belum juga mengerti. Dia belum paham betul membedakan antara istihadhah dan haid. Apapun namanya, selain keputihan, bukanlah sesuatu yang keluar dari kemaluan seorang wanita itu berupa darah juga, sesuatu yang kotor sehingga terlarang bagi seorang muslimah untuk shalat, puasa dan beribadah lainnya?

Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Tidak semua darah yang keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid. Sayangnya, pemahaman Sarah ini juga melanda hampir sebagian besar kaum muslimah. Banyak dari mereka yang belum bisa membedakan jenis darah dan hukum akibat darah tersebut keluar. Untuk itu, mari simak kembali ulasan berikut.


Dalam banyak kitab-kitab fikih disebutkan bahwa haid adalah darah yang berwarna hitam, menggumpal, dan berbau tidak sedap. Kapanpun darah ini keluar  dari kemaluan seorang wanita, maka dia tidak halal untuk melaksanakan shalat, puasa, serta thawaf mengelilingi Ka’bah. Ia juga tidak halal digauli suaminya, sampai dia suci, yaitu dengan membasuhi kepala dan sekujur tubuhnya dengan air sampai rata. Bila tidak ada air, seyogyanya bertayamum saja. Masing-masing wanita mengalami siklus haid yang berbeda-beda. Ada yang sehari semalam, seminggu, bahkan lebih. Namun bagaimana ketentuan fikih mengatakan?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jumlah hari terbanyak dari haid seorang wanita adalah lima belas hari. Untuk itu, jika masih ada darah yang keluar setelah lima belas hari, maka darah tersebut dianggap sebagai darah istihadhah (aliran darah yang keluar terus-menerus karena penyakit). Namun ada juga ulama yang menyatakan tujuh belas hari.

Selain haid, ada juga nifas. Darah yang keluar dari kemaluan wanita pasca melahirkan. Sekurang-kurangnya sehari semalam, sedang paling umum, selama empat puluh hari. Namun ulama mazhab banyak yang berpendapat bahwa batasan terbanyak adalah enam puluh hari. Lebih Dari itu bukan lagi nifas, melainkan darah istihadhah. Seperti halnya haid, orang yang nifas pun dikenai hukum yang sama, yakni terlarang shalat, puasa, thawaf di Ka’bah dan berjima” dengan suaminya.

ISTIHADHAH

Darah istihadhah yang keluar di luar masa haid maupun nifas. Pendek kata, tak ada batasan waktu kapan ia akan keluar. Entah sesaat maupun selama berbulan-bulan lamanya. Namun karena tidak ada ketentuan inilah seorang wanita seringkali terkecoh membedakan antara darah istihadhah dan haid.

Nah, guna menghindari kebingungan tersebut, menurut jumhur ulama, paling tidak mereka harus mengetahui tiga kondisi seperti berikut
  1. Seorang wanita harus mengetahui kebiasaan masa haidnya (kalau perlu dijadwal dengan menandai tanggal kalender)
  2. Seorang wanita mampu membedakan darah yang keluar berdasarkan warna dan baunya. Lalu yang ia lakukan  adalah bertindak menurut jenis darah yang ia lihat. Bila ciri-cirinya mengarah pada darah haid, maka dia pun haid. Sedang jika lebih dekat pada darah  istihadhah, dia harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang wanita muslimah. Dalam hal ini Nabi Muhammad pernah menjelaskan, sebagaimana yang pernah dikatakan Nabi kepada Fatimah Binti Abi Hubaisy, yang ketika itu dia sedang mengalami istihadhah. “Jika darah yang keluar adalah hitam, seperti  yang sudah dikenal, darah itu adalah darah haid, maka janganlah kamu melakukan  shalat. Jika tidak seperti itu (artinya warna darah tidak hitam) maka itu adalah darah istihadhah. Maka berwudhulah dan lakukan shalat.”.
  3. Seorang wanita tidak tahu pasti kebiasaan haidnya atau dia lupa  akan waktu pastinya, dan bahkan ia tidak mampu membedakan darahnya yang keluar itu apakah darah haid atau darah istihadhah. Jika demikian, dia  harus menganggap waktu haidnya adalah enam atau tujuh hari yang mana merupakan masa haid umum bagi  wanita yang normal.  

PENGARUH  ALAT KONTRASEPSI

Secara maknawi, istihadhah di maknai sebagai darah penyakit. Darah itu keluar disebabkan penyakit/sesuatu, ada unsur luar yang menyebabkannya, bukan karena siklus bulanan yang sifatnya mutlak. Misalnya karena tengah menderita suatu penyakit  tertentu yang menyebabkannya sering mengeluarkan darah. Namun, tak dimungkiri, keberadaaan alat kontrasepsi juga menjadi pemicu keluarnya istihadhah. Tidak sedikit  orang yang menjalankan KB dengan cara minum pil KB, suntik, spiral dan lainnya, mengeluarkan darah diluar masa haidnya. Karena efek samping dari KB itu memang sering mengeluarkan darah dengan tidak beraturan.

Ini patut dipahami mengingat pengguna KB di negeri ini tidaklah sedikit. Utamanya kaum ibu yang ingin menjarangkan kelahirannya. Sayangnya, acapkali mereka menemui kendala seperti berikut; sehari keluar darah, sehari  tidak keluar darah terus- menerus sampai berbulan-bulan, namun setelah itu tidak pernah haid  juga sampai berbulan-bulan. Alhasil, siklus haid pun menjadi acak dan tak bisa diprediksi.

Darah yang keluar tersebut sesekali pekat seperti darah haid. Namun umumnya lebih sering  tidak berbau, encer, warnanya pun lebih cerah seperti merah muda, juga tidak disertai rasa sakit seperti halnya saat haid. Nah, untuk mengindetifikasi agar lebih mudah membedakan masa haid dan istihadhah adalah dengan memakai ketentuan waktu haid sebagaimana yang ditetapkan para ulama mazhab (di atas) lewat dari itu, sudah pasti masuk dalam kategori istihadhah.

Bagaimana kalau berbulan-bulan? Ada yang menyatakan harus menganggap masa haidnya enam atau tujuh hari saja. Namun, bila Anda yakin bahwa yang keluar itu murni akibat dari alat kontrasepsi, tunggulah sampai istihadhah selesai dan kembali bisa menentukan masa haid. Karena  seperti  pemasangan spiral/IUD atau suntik KB  jangka tiga bulan  yang umumnya berefek samping mengeluarkan darah satu sampul dua bulan (apalagi dengan kategori jenis darah yang bukan darah haid), tapi sesudah itu masa haid kembali normal dan bisa diprediksi lagi.

Dalam kondisi demikian, ia diperintahkan untuk tetap melaksanakan  ibadah wajib.  Hanya saja, terjadi silang pendapat dalam hal berwudhu bagi orang yang sedang istihadhah. Ada yang menyatakan harus berwudhu dalam setiap waktu shalat. Maksudnya, tidak boleh sekali wudhu untuk dua waktu shalat seperti shalat Dhuhur dan Ashar. Namun dalam hal ini, ia diperintahkan untuk melaksanakan shalat sunnah sepanjang waktu Ashar saja atau Dhuhur saja. Atau, boleh juga menjamak shalat (Dhuhur dan Ashar) dengan sekali wadhu. Ketentuan ini masih lebih ringan dari pada sejumlah ulama yang berpendapat bahwa wanita istihadhah harus mandi setiap kali masuk waktu shalat.

Bagaiamana jika saat shalat terasa ada darah yang keluar? Dalam hal ini shalatnya  sah, tidak batal, mengingat keluarnya darah tidak bisa dihindari, sepanjang keluarnya itu  hanya membasahi pembalut  wanita sehingga tidak menajisi pakaian. Maka agar lebih terjaga dari najis, sering-seringlah mengganti pembalut setiap kali masuk waktu shalat. Wallahu A’lam bi Shawab.

Sumber : Fikih Nisa, Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah
Back To Top