Sajadah Muslim ~ Suatu waktu pada bulan Ramadhan 1441 H, secara online sebuah lembaga studi di Jakarta menggelar diskusi online tentang “Hak-hak Kesehatan Reproduksi, Perempuan, Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits serta kebijakan Nasional”.
Seorang pembicara dengan ringan menyatakan bahwa tidak ada halangan bagi wanita haid dalam ibadah.
Menurutnya, wanita haid boleh membaca Al-Qur’an, dan berdiam diri di masjid. Lebih jauh dengan penuh semangat pembicara itu menyatakan bahwa wanita haid juga boleh melakukan puasa. Karena menurut dia, wanita haid adalah orang sakit, ketika wanita sedang haid, artinya ia sedang sakit, dengan kadar sakit haid yang berbeda-beda.
Agar terkesan tidak asbun ia pun menggunakan nash berupa hadits yang meyebutkan bahwa perintah mengqodho puasa bagi wanita haid, tidak ada pelarangan puasa secara shorih/jelas.
Jadi ia mendorong audiens untuk “berani” sekalipun masih diliputi keraguan dengan mengemukakan bahwa pendapatnya itu bersifat ijtihadai, bukan pendapat yang mainstream diketahui, tapi menurut dia bagus untuk dibahas dan didiskusikan.
Entah sadar atau tidak, untuk bisa berijtihad seorang Muslim / Muslimah harus memiliki kriteria yang ketat. Tapi inilah problem umat kekinian, merasa diri lebih dari yang sejatinya.
Diskursus dalam permasalahan agama sebagaimana di atas sering digelar akhir-akhir ini. Seringkali kesimpulan hukum yang dihasilkan nyeleneh, karena menyalahi ketetapan jumhur ulama. Bahkan ulama sedikitpun tidak pernah membahas ketetapan hukum yang sudah pasti semisal larangan puasa bagi wanita haid.
Baca juga:
- Merdeka Itu Bebas Dan Membebaskan
- Problem Menjalankan Ibadah Bagi TKI
- Hukum Khitan Bagi Anak Perempuan
- Cara Mandi Wajib Yang Benar
- Dampak Riba Terhadap Kehidupan
Fiqih Islam memiliki karakteristik sendiri, yang tidak bisa mengikuti framework berpikir dari budaya dan peradaban di luar Islam. Oleh karena itu timbangan Islam jelas, lebih-lebih soal ubudiyah yang sejak awal Islam sudah matang dan sempurna.
Artinya, pemikiran nyeleneh itu hakikatnya ingin menjauhkan kita dari tradisi keilmuan ulama. Ijtihad juga memiliki aturan, tidak bisa satu masalah dianalogikan dengan hal lain yang berbeda, selagi sifatnya ta’abbud/ibadah semata tidak diperkenankan ijtihad ‘ dan lain sebagainya.
Apa pasal yang menyebabkan banyak orang laki-laki dan perempuan saat ini seakan-akan berlomba untuk dapat dikatakan dan dipandang progresif dan modernis? Sehingga berani menyimpulkan hukum agama, menyatakan ini halal dan itu haram.
Padahal ulama yang hapal dan memahami literatur agama dengan mumpuni saja tidak berani, jawabannya adalah kebebasan.
Kebebasan, yang mereka katakan freedom atau liberty adalah kebebasan dalam segala hal. Kebebasan berpikir dan bertindak.
Paham kebebasan yang berasal dari Barat itu melahirkan liberalisme, paham yang selalu dibenturkan dengan agama. Paham kebebasan yang menjadikan akal sebagai pusat kendali untuk mengungkapkan dan mengetahui segala hal. Paham kebebasan ini menjangkiti sebagian umat Islam kini. Tidak heran jika lahir pemikiran seperti yang diungkapkan pembicara itu, yang dengan lantang mengatakan wanita haid berpuasa boleh.
Islam adalah agama kebebasan, tapi bukan kebebasan sebagaimana paham yang dianut liberlisme Hurriyyah atau kebebasan dalam bahasa arab adalah lawan kata dari Riqq dan ‘ubudiyyah.
Bebas berarti tidak menjadi budak seseorang. Manusia bebas adalah manusia yang terbebas dari penghambaan kepada makhluk, ayat dalam QS Al-Fatihah yang kita ulang setiap shalat.
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan,” adalah pernyataan bebas kita dari belenggu penghambaan kepada makhluk. Menuju penghambaan kepada Allah Swt semata.
Terbebas dari ikatan penghambaan kepada makhluk bukan berarti seorang muslimah tidak bisa berkutik dari ketetapan yang Allah tentukan untuknya. Muslimah tetap bebas untuk menentukan (ikhtiyar) jalan hidupnya.
Ikhtiar yang berarti memilih dan menentukan yang baik, memberikan makna bahwa muslim/muslimah harus memilih kebaikan untuknya di dunia dan akhirat dengan mengikuti nilai-nilai kebaikan yang telah ditentukan oleh Penciptanya dan dicontohkan oleh Qudwahnya, Muhammad.
Muslimah harus menaknai kebebasan ini sebagai kebebasan yang selaras dengan fitrahnya sebagai makhluk yang lemah.
Karenanya ia harus mengacu pada standar kebaikan dan keburukan yang telah ditentukan oleh Al-Kholiq. Adapun paham liberalisme yang dipercayai oleh sebagian muslimah sebagai paham kebebasan yang harus ditiru, tidak memiliki acuan standar baik dan buruk kecuali hawa nafsu.
Allah Swt, telah mewanti-wanti Nabi-Nya; “Sudahkah kamu melihat (tidak herankan kamu pada) orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah/sesembahan apakah kamu akan menjadi pelindungnya.”
Jadi, jangan sampai diri merasa bebas padahal malah tunduk menyembah hawa nafsu. Na’zdzubillah.
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
Thanks for reading Kebebasan Dalam Islam. Please share...!
0 Comment for "Kebebasan Dalam Islam"