Sajadah Muslim ~ Al-Qur’an telah lama mendapat perhatian luar biasa dari kaum Muslim, terlebih ulama. Tidak terhitung berapa karya yang telah ditulis untuk berhikmat kepadanya, ribuan karya tafsir telah disusun dalam berbagai metode dan corak, namun makna dan isi kandungannya tidak kunjung habis.
Setiap huruf Al-Qur’an telah dipelajari melalui ilmu Makharijul. Huruf dan Shifatul Huruf, Setiap kalimat dicermati melalui ilmu tajwid dan qiraat. Tulisannya pun dikaji tersendiri melalui ilmu rasm al-mushhaf.
Kajian-kajian fiqih juga tidak ketinggalan membahas bagaimana hukum berinteraksi ndengan mushhaf, bahkan termasuk bagi orang yang sedang berhadats atau wanita yang sedang haid. Semua ini mengusung satu pesan yang jelas, bahwa Al-qur’an adalah kitab yang sangat agung dan harus diagungkan.
Nasihat Kepada Al-Qur’an
Imam Muslim meriyawatkan dari Tamim ad-dariy bahwa Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah nasihat para sahabat, lalu bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimah pada umumnya.”
Islam Abu Abdillah Muhammad bin Nashr al-Marwazi mengutip penjelasan ulama terdahulu atas Hadits ini, bahwa yang dimaksud nasihat adalah perhatian yang sungguh-sungguh terhadap obyek yang dinasihatkan itu, siapa pun dia adanya.
Maka yang dimaksud nasihat kepada Kitabullah adalah kecintaan yang sangat, serta penghargaan terhadap keagungan nilainya, sebab ia adalah firman Allah. Juga keinginan kuat untuk memahaminya, keseriusan men-tadabburi-nya, tidak buru-buru ketika membacanya agar dengan penuh cinta dan ketekunan (Ta’zhimu Qadri ash- Shalah II/691-693).
Iman al-Halimi menyitir 50 pasal tentang hal-hal apa saja yang termasuk mengagungkan al-Qur’an ini. Kemudian dari sini, Imam al-Baihaqi memperluasnya hingga menghabiskan lebih dari 450 halaman dan menyitir tidak kurang dari 669 riwayat.
Berikut ini gambaran tentang langkah-langkah agar kita termasuk orang-orang yang mengagungkan al-Quran dengan yang sebenar-benarnya.
Pertama, pelajari, ajarkan dan amalkan. Rasulullah bersabda, “Orang paling utama di antara kalian adalah mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya” (Riwayat al-Bukhari)
Termotivasi oleh Hadits itu. Abu Abdurrahman as-Sulami mengajarkan al-Qur’an selama 40 tahun lebih al-Qur’an jika pernah mempelajarinya sebelum itu.
Ibnu Mas’ad berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah hidangan perjamuan dari Allah, maka ambillah darinya semaksimal yang kalian mampu. Sungguh aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih kosong dari kebaikan dibanding sebuah rumah yang di dalamnya tidak terdapat Kitabullah barang sedikit pun, Sungguh hati yang tidak ada penghuninya.” (Sunan ad-Darimi no. 3350)
Demikianlah generasi Salaf sangat serius mempelajari al-Qur’an, mereka tidak puas hanya dengan membaca kalimat-kalimatnya, akan tetapi sekaligus memahami makna dan isi kandungannya, agar bisa mengamalkannya , itulah tujuan utama penurunan Al-Qur’an.
Umar bin Khathab, menghabiskan 12 tahun untuk mempelajari surah Al-Baqarah saja, dan ketika khatam beliau menyembelih seekor unta. Dan Ibnu Umar menghabiskan 8 tahun hanya untuk mengkaji surah Al-Baqarah.
Ya, karena Ibnu Umar, mempelajari hal-hal yang difardhukannya, hukum-hukumnya, dan apa-apa yang berkenan dengannya. Sebab telah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau tidak menyukai terburu-buru dalam menghafalkan al-Qur’an tanpa disertai usaha untuk memahaminya. (Syah az-Zarqani alal Muwatha).
Maka, jangan takjub jika mendengar seorang tabi’in bernama Mujahid bin jabr Abbas sebanyak 3 kali setoran. Saya berhenti pada setiap ayat untuk bertanya kepada beliau, dalam masalah apa ayat itu turun dan bagaimana hal itu terjadinya (Tahdzibut Tahdzib X/43)
Oleh karena itu, dalam nada yang penuh keprihatinan al-Fuhdail bin Iyadh (Atba’tabi’in yang wafat pada 187 H) berkata, “Al-Qur’an turun hanya untuk diamalkan namun manusia justru menjadikan membancanya sebagai pengalamannya.”
Di tanyakan kepada beliau, “bagaimana mengamalkannya?” Beliau menjawab, “Maksudnya, agar dia mengharamkan apa yang diharamkannya, melaksanakan perintah-perintahnya menahan diri dari larangan-larangannya, dan berhenti pada keajaiban-keajaibannya (untuk merenunginya)” (Iqtidha’ul ‘Ilmi al-Amal no 116)
Bila kita telusuri lebih dalam, ternyata inilah makna iqra, atau qira’ah (membaca al-qur’an) yang sesungguhnya, sebagaimana dipahami oleh bangsa Arab dari bahasa aslinya. Dalam kamus-kamus semisal Lisanul’Arab dan Mu’jam Mufradat Alfazhil Qur’an kita mendapati di antara makna qira’ah berusaha memahami (tafah hama), terus mempelajari, berupaya mengerti secara mendalam (tafaqqaha) dan beribadah dengan tekun (tanassaka). Tanpa makna-makna ini, sebenarnya kita belum membaca al-qur’an dengan sebenar-benarnya, kita sekadar melafalkan huruf, tapi belum memahami isi kandungannya.
Kedua, tekun dan tidak bosan-bosan membacanya. Pengamalan al-Qur’an adalah tujuan utama, sedangkan membaca kalimat-kalimatnya adalah upaya untuk memelihara keterikatan ruhiyah dengan firman-firman Allah, agar senantiasa terniang di hati dan pikiran, kemudian menginspirasi tingkah laku dan perbuatan. Hafalan adalah bagian dari upaya ini.
Para sahabat merutinkan tilawah dalam berbagai cara, ada yang membaginya menjadi 30 juz, sehingga Khatam sebulan sekali, ada pula yang menyelesaikan tilawahnya dalam 15 atau 10 hari.
Ada lagi yang memecahnya menjadi 7 bagian yang disebut Famiy bi Syauqin (mulutku dalam kerinduan) dan diselesaikan dalam seminggu. Istilah ini mengacu pada nama-nama surah pertama dari setiap kelompok, yaitui fa’ (al-Fathihah), mim (al-Maidah), ya’ (Yunus) ba’(Bani Israil/al-Isra) syin (asy-Syu’ara), wawu (wash-Shaffat) dan qaf (Qaaf) sampai khatam. Banyak pula Sahabat yang menyelesaikan tilawahnya dalam 5 atau 3 hari, terlebih di bulan Ramadhan.
Di antara yang mendorong kekhusyu’an meningkatkan semangat dan mengurangi kebosanan adalah melagukan bacaan seindah mungkin. Rasulullah memerintahkan kita untuk memperindah bacaan al-qur’an. “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kalian” (riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Ketiga, memperhatikan adab ketika berinteraksi dengannya. Imam an-Nawawi menyusun sebuah karya khusus di bidang ini, at-Tibyan fi Adabi hamalatil Qur’an. Imam Abu Bakar al-Ajurri, juga memiliki karya serupa berjudul Akhlaqu Ahlil Qur’an.
Dalam kitabnya, Imam al-Ajurri berkata, “Saya menyukai bagi orang yang hendak membaca al-qur’an, baik di waktu malam maupun siang, agar bersuci dan bersiwak, sebab hal itu merupakan pengagungan terhadap al-qur’an. Sebab ia membaca firman Tuhan dan para malaikat pun mendekat kepadanya ketika ia membaca al-Qur’an.
Menghormati ahli-ahli al-qur’an (hafizh-hafizhah, guru mengaji) juga termaktub dalam bab ini. Uraian ini sebenarnya sangat panjan, dirinci bagian demi bagian yang menunjukkan betapa kita harus benar-benar beradab terhadap firman Allah termasuk kepada mushhaf-nya.
Semoga Allah membimbing kita untuk mengagungkan firman-Nya, dan membuka hati serta pikiran kita untuk memahami maknanya serta mengamalkannya. Wallahu a’lamn bish Shawab.
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
Thanks for reading Mari Menggunakan Kitabullah. Please share...!
0 Comment for "Mari Menggunakan Kitabullah"