Sajadah Muslim ~ Dalam pengantar tafsir Fii Dzilaalil Qur’an Sayyid Quthb menyatakan, “Di bawah naungan al-Qur’an aku memandang dari atas, Aku lihat kejahilan menari-nari dimuka bumi. Aku perhatikan manusia-manusia jahil itu begitu kerdil dengan segala urusan yang remeh-temeh”.
Aku pandang dengan heran, pengetahuan yang dimiliki oleh manusia-manusia jahil ini tak lebih dari pengetahuan anak-anak. Pandangan dan perhatian anak-anak, ketika kulihat mereka, aku ibarat seorang dewasa yang melihat permainan anak-anak kecil, aku heran, ada apa dengan manusia ini’?
Hiruk-pikuk kehidupan manusia tidak akan membingungkan orang yang hidup di bawah naungan al-Qur’an. Seperti seseorang yang berdiri di tempat yang tinggi, dia melihat kehidupan di permukaan bumi begitu jelas. Dari mana manusia-manusia itu beranjak dan ke mana pada akhirnya? Ia tidak akan kagum kepada apa yang dikagumi kebanyakan manusia, dalam pandangannya mereka yang mengagumi dan yang dikagumi sama-sama kerdilnya.
Namun, lihatlah bagaimana seorang yang kaya dan terkenal, yang dengan bangga memamerkan berbagai koleksi mobil mewahnya. Ia merasa istimewa dan pantas di kagumi. Lihat pula orang- orang di sekelilingnya, yang tak henti berdecak kagum, sungguh kasihan. Mereka sebenarnya seperti anak kecil yang terkagum-kagum dengan mainannya, tetapi mereka tidak tahu apa sebenarnya urusan yang terpenting dalam hidupnya.
Lihatlah bagaimana seorang artis yang setiap hari berjam-jam merias diri, menata rambut, memoles kulit dan tubuhnya, membalutnya dengan kain, yang justru menampakkan perhiasan yang seharusnya tersembunyi, mereka berlenggak-lenggak meminta perhatian.
Tetapi, sungguh malang nasibnya. Betapa murah ia menghargai dirinya, para pengagungnya pun hanya melihatnya sekedar sebagai benda atau barang yang bernyawa.
Lihatlah perilaku politikus busuk yang setiap hari sibuk merancang tipu daya. Hari ini merangkul kawan dan menjatuhkan lawan, besok bersekongkol dengan lawan untuk mengkhianati kawan.
Mereka kasak-kusuk, membisikan tawaran, berjual beli kepentingan, mereka mempermainkan amanah dengan dalih memperjuangkan kebenaran. Mereka menciptakan kegaduhan politik untuk mencuri di tengah keramaian.
Tetapi sungguh celaka! Karena mereka sedang menipu dan menjerat diri sendiri, mereka menukar hukuman yang ringan di dunia dengan hukuman yang teramat pedih di akhirat kelak. Bisakah mereka lepas dari pengadilan Allah?.
Begitulah, kebanyakan manusia hidup dengan menipu diri, mereka menjerumuskan diri dalam kebingungan dan tidak kehampaan, mengukur harga diri dengan sesuatu yang tidak berharga, serta terjerat dalam kesibukan yang tak teramat sepele dibandingkan akibat yang harus dipertanggung jawabkan.
Hidup Tanpa Keraguan
Manusia akan mengalami kebingungan ketika mereka berlepas diri dari bimbingan Allah. Sejarah panjang peradaban Barat adalah gambaran kongkrit dari kehidupan manusia yang dilanda kebingungan yang kompleks itu.
Dulu agama begitu perkasa, menguasai hampir seluruh sendi kehidupan. Kini agama benar-benar terasing dari kehidupan, siapapun boleh mencaci maki agama.
Dulu para wanita dikekang sekeras-kerasnya, sekarang dibiarkan sebebas-bebasnya sampai-sampai mereka bingung dengan kebebasannya sendiri.
Segala daya upaya dikerahkan untuk mencapai kejayaan materi, ketika materialisme tidak membawa kebahagiaan, mereka pun merevisinya.
Kini mereka bergerak ke arah spritualisme, tetapi bukan kembali kepada agama. Mereka bertuhan tetapi tidak beragama. Dan akhirnya spritualisme tanpa agama pun berujung pada kehampaan, karena tidak bisa menjawab persoalan-persoalan mendasar manusia.
Dari mana manusia ini berasal? Untuk apa ia hidup di dunia ini? Kemana ia pergi dan apa yang terjadi setelah kematian? Hanya Tuhan yang menciptakan manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui kitab suci yang diturunkan-Nya. Tetapi sudah lama mereka membuang kitab sucinya karena memang sudah tidak bisa dipercaya lagi sebagai kitab suci.
Tanpa pedoman dari sang Pencipta Kehidupan, sungguh manusia akan tersesat jalan hidupnya. Bersyukurlah bahwa Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan tuntunan-Nya. Kepada Rasulullah Muhammad. Allah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Allah berfirman; “Kitab (al-qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah ayat 2).
Al-Qur’an adalah cahaya yang menerangi kehidupan manusia yang hidup bersama al-Qur’an akan melangkah penuh keyakinan. Ke barat maupun ke timur, mereka tidak akan tersesat.
Mereka melihat jalan kehidupan begitu jelas ketika orang lain hanya meraba-raba, terantuk-antuk dan terjerembab dalam lumpur kegelapan. Hidup membutuhkan kepastian, dan yang pasti benar adalah Allah dengan firman-Nya, yaitu al-Qur’an.
Mulia Karena Al-Qur’an
Sungguh Allah telah menciptakan manusia paling sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Allah memberi penghormatan kepada manusia melebihi penghormatan manusia itu kepada dirinya sendiri.
Di antara bentuk penghormatan itu, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Bahkan kata Allah dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70, manusia telah diberi kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk lain yang Allah ciptakan.
Mulianya kedudukan manusia itu menjadi sempurna dengan diturunkannya Al-Qur’an. Para sahabat Nabi yang pernah hidup dijaman jahiliyah pernah merasakan kehidupan yang hina. Sampai kemudian Islam dengan cahaya kitab suci Al-Qur’an mengentaskan mereka dari kehinaan.
Umar ra berkata; “Kita ini adalah orang-orang yang paling hina lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Kalau saja kita mencari kemuliaan pada selain Islam maka Allah akan menghinakan kita lagi.”
Kehidupan manusia yang belum tersentuh al-Qur’an adalah kehidupan yang hina. Mereka yang berada di negara-negara modern maupun masyarakat yang belum tersentu peradaban, hampir sama cara hidupnya. Lihatlah pakaian yang dikenakan orang-orang modern di dunia mode. Bandingkan dengan pakaian suku-suku di pedalaman, mereka sama-sama compang-camping. Allah menggambarkan kehidupan orang-orang kafir seperti kehidupan binatang. Allah berfirman;
“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan mereka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad ayat 12).
Sebagian manusia justru menghinakan dirinya sendiri lebih rendah dari binatang karena mengabaikan ayat-ayat Allah. Firman Allah:
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat, (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS Al-A’raf ayat 179).
Sungguh al-Qur’an telah memuliakan manusia yang berpedoman kepadanya dan menghinakan yang mengabaikannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Thanks for reading Mulianya Hidup Bersama Al-Qur’an. Please share...!
0 Comment for "Mulianya Hidup Bersama Al-Qur’an"