Sajadah Muslim ~ Perempuan bersuami tak bisa sembarang membelanjakan hartanya. Saat memasuki dunia rumah tangga, ada dilema besar yang sulit ditampikan oleh para istri, yakni mengkompromikan keinginan pribadi dengan kehendak suami. Dan satu hal yang cukup krusial ada dalam masalah keuangan.
Lebih tak enak lagi jika suami tergolong pelit, sehingga istri seringkali curi-curi kesempatan saat membelanjakan uangnya, entah itu untuk keperluan dapur, anak, memberi jatah bulanan untuk orang tua atau sekedar bersedekah kepada orang lain yang memang membutuhkan. Tentu saja cara seperti ini tidak mengenakkan, bahkan bisa jadi berdosa karena ketiadaan izin dari suami.
Akan tetapi, terkait persoalan ini, para sahabat perempuan di zaman Rasulullah pun rupanya pernah mengalami hal serupa. Di antara mereka ada yang membelanjakan hartanya tanpa izin suami dan suami pun tidak mempermasalahkannya, ada juga yang harus sembunyi-sembunyi karena suami sangat tergolong pelit. Relita seperti ini tak ditampik karena akan selalu terjadi dari waktu ke waktu. Bagaimana Islam meneropong masalah ini? Apakah harta yang mutlak milik istri harus mendapatkan izin suami juga saat membelanjakannya?
Tanpa Izin
Dari Ayyub, aku mendengar Atha’ berkata bahwa dia mendengar Ibnu Abbas bercerita. “Aku bersaksi bahwa Rasulullah pergi ditemani Bilal saat shalat ‘Id.Rasulullah mengira bahwa para wanita tidak mendengar khutbah yang ia sampaikan. Oleh karena itu, Rasulullah menasehati mereka secara khusus dan Nabi perintahkan mereka supaya bersedekah. Para wanita pun melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke arah kain yang dibentangkan oleh Bilal dan Bilal memegang ujung kainnya”. (HR. Bukhari).
Dalil di atas menunjukkan bahwa seorang istri boleh menyedekahkan harta pribadinya meski tanpa sepengetahuan dan seizin suaminya. Sebab tidak ada penjelasan bahwa mereka pergi dan meminta izin dulu kepada suaminya ketika Rasulullah memerintahkan mereka untuk bersedekah.
Maimunah binti Harits, salah seorang istri Rasulullah pun pernah melakukan sesuatu tanpa meminta izin kepada Rasulullah terlebih dulu, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Abbas dalam hadits riwayat Bukhari. Ketika itu, Maimunah memerdekakan budak perempuannya tanpa meminta izin kepada Nabi terlebih dulu. Pada saat hari giliran Rasul saw menginap di rumah Maimunah, barulah dirinya berkata kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apakah kau tahu bahwa aku telah memerdekakan budak perempuan yang kumiliki?” Rasul berkata, “Benarkah kau telah melakukannya?” “Ya!” jawab Maimunah. Rasul pun berkata (lagi). “Jika kau berikan budak perempuan tersebut kepada pamanmu tentu pahalanya lebih besar.” (HR. Bukhari).
Dalam hadits ini, Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan istrinya yang menginfakkan harta pribadinya tanpa sepengetahuan dan seizinnnya. Tidak adanya larangan dari Rasulullah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya boleh. Apalagi dalam satu kesempatan. Rasulullah pernah bersabda kepada Asma, “Berinfaklah dan jangan dihitung-hitung (sehingga kau merasa sudah banyak berinfak dan pada akhirnya kau berhenti berinfak). Jika demikian maka Allah akan menghitung perhitungan denganmu dalam anugerah-Nya dan jangan kau simpan kelebihan hartanya sehingga Allah akan menyimpan (baca menahan) anugerah-Nya kepadamu.” (HR. Bukhari).
Terkait ini, Aisyah pun meriwayatkannya. “Jika seorang perempuan menafkahkan sebagian makanan yang ada di rumahnya, yang tidak akan menimbulkan masalah, ia memperoleh pahala atas sedekahnya, suami memperoleh pahala atas usahanya, dan penjaga rumah juga mendapat pahala yang sama. Sebagian mereka tidak mengurangi sedikitpun pahala sebagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalil-dalil di atas dipegang oleh jumhur ulama sehingga mereka menyatakan bahwa dalam hal mendermakan harta, khususnya untuk sedekah dan keperluan rumah tangga, izin suami tidak mutlak didahulukan atau diprioritaskan.
Harus Izin Suami
Dalam rumah tangga, istri laksana makmum yang berimam kepada suaminya. Karena itulah, segala tindak-tanduk seorang istri harus mendapat restu dari suaminya. Dalam hal membelanjakan harta pun sudah sepatutnya seorang istri meminta izin dari suaminya. Dan karena itu pula, para ulama menyatakan hukum wajib bagi seorang istri untuk meminta izin suaminya dalam persoalan ini.
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda. “Tidak boleh bagi seorang perempuan yang bersuami untuk membelanjakan harta pribadinya (tanpa seizin suaminya)” (H.R. Abu Daud, Nasa’i Ibnu Majah).
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa pada suatu hari istri Ka’ab bin Malik menyerahkan perhiasannya kepada Rasulullah saw sebagai sedekah. Namun ia tidak langsung menerimanya seraya berkata. “Tidak dibenarkan seorang wanita bersedekah dari hartanya kecuali dengan seizin suaminya”. Rasulullah pun bertanya, “Apakah engkau sudah mendapat izin dari suamimu?” Istri Ka’ab bin Malik memberi jawaban yang belum memuaskan keingin tahuan Rasulullah. Kemudian Rasul pun mengutus salah seorang sahabatnya untuk menemui Ka’ab dan bertanya. “Apakah engkau merestui sedekah istrimu itu ? Ka’ab menjawab. “Ya benar”. Lalu utusan tersebut melaporkannya pada Rasulullah bahwa tindakan istri Ka’ab memang telah direstui oleh Ka’ab. Kemudian, Rasul pun mau menerima sedekah itu.
Kadar Kemakluman
Adanya dalil yang paradoks dalam persoalan ini mau tak mau membuat para ulama pun berbeda pandangan sehingga nampaknya sulit untuk diceritakan jalan keluarnya. Menengarai hal ini, Ibnu ‘Arabi mengambil jalan tengah. Menurutnya, sepanjang harta yang digunakan tidak menyebabkan masalah dalam rumah tangga dianggap boleh dilakukan.
Allah swt berfirman, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS Al- Baqarah ayat 274).
Karena keutamaan sedekah yang besar, syariat yang mulia ini banyak mendorong setiap kaum muslim untuk mengeluarkan sedekah. Dorongan tersebut tidak hanya ditujukan kepada lelaki namun juga kepada kaum perempuan. Dan Allah pun tidak membeda-bedakan urusan untuk kebaikkan. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, lai-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berzikir). Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al- Ahzab ayat 35).
Menurut Imam Nawawi, bagaimana pun keadaannya seorang istri harus meminta izin kepada suaminya. Baik izin yang berbentuk sharih (jelas) maupun izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi uang atau sepotong roti kepada peminta-minta dari kebiasaan yang biasa berlangsung . Pengeluaran harta untuk sedekah ini pun sebatas kadar yang ringan, yang menurut kebiasaan suami ridha hartanya diberikan dalam jumlah yang demikian. Namun bila jumlahnya sampai melebihi kebiasaan, maka tidak dibolehkan.
BACA JUGA :
- Tak Selalu Harus Mengenakan Mukena Saat Shalat
- Bila Sang Dokter Lawan Jenis
- Wanita Berhak Mengajukan Cerai
- Bila Perempuan Muslimah Shalat Jumat
- Cara Bersuci Setelah Masa Haid
Akan tetapi, menurut Nawawi lagi, jika diragukan keridhaannya, maka tidak boleh seorang istri menggunakan hartanya (untuk di infakkan kepada yang membutuhkan) kecuali mendapat izin dengan cara yang sharih (jelas).
Apapun dalam urusan memenuhi kebutuhan rumah tangga yang menjadi kewajiban suami, dia sama sekali tidak boleh lalai apalagi sampai bersikap pelit. Karena jika begitu, istri dibolehkan mengambil harta miliknya, sekalipun tanpa izin, dengan catatan sekedar untuk mencukupi kebutuhannya.
Dalam sebuah riwayat yang disebutkan bahwa Hindun binti Utbah mengadu kepada Rasululah bahwa Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang laki-laki yang sangat pelit. Ia tidak mau memberinya nafkah yang bisa mencukupi kebutuhannya dan anaknya. Dan Rasul pun membolehkan Hindun binti Utbah mengambil harta Abu Sufyan. “Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik sebanyak yang bisa mencukupi keperluanmu dan mencukupi anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meski begitu, keterbukaan adalah jalan utama. Sepanjang tidak berada dalam situasi buntu yang menyulitkan seorang istri membelanjakan hartanya apalagi demi hajat hidup rumah tangga, istri semestinya terbuka.
Sumber : Fikih Nisa Seputar Problematika Ibadah Kaum Wanita
Labels:
Ibadah Kaum Wanita
Thanks for reading BILA ISTRI MENDERMAKAN HARTANYA. Please share...!
0 Comment for "BILA ISTRI MENDERMAKAN HARTANYA"