Sajadah Muslim ~ “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pemurah (al-Qur’an) Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”
Menyikapi kebenaran kandungan al-qur’an adalah pilihan bagi setiap manusia. Ia bebas menjatuhkan pilihan sekaligus siap menanggung risiko. Dalam al-Qur’an pilihan itu disebut “imma syakiran wa imma kafuran”. Apakah manusia tersebut menjadi orang yang bersyukur atau memilih tergolong ingkar dan tak tahu diri terhadap nikmat Tuhan.
Ayat di atas mengurai sekaligus mengingatkan akibat berpaling dari ajaran al-Qur’an. Ketika orang lain mempelajarinya atau tidak peduli dengan tuntunan yang di syariatkan, niscaya ia dijauhkan dari kenikmatan iman serta ukhuwah.
Akibatnya, ia gelisah kala berinteraksi dengan al-Qur’an, mereka malah dicekoki dengan kenyamanan bersahabat dengan setan yang jelas musuh nyata bagi orang-orang yang beriman.
Makna Ayat
Menurut ahli tafsir terkenal, Abdurrahman as-Sa’di dzikru Rahman, tak lain adalah al-Qur’an sebagai pemandu hidup orang-orang beriman. Bagi setiap Muslim al-Qur’an adalah rahmat terbesar yang diberikan oleh Yang maha Penyayang, kepada segenap hamba-Nya.
Hendaknya mereka meyakini Islam sebagai satu-satunya jalan hidup dan al-Qur’an adalah sebaik-baik hadiah dari Allah. Sebab di sana terbentang jalan menuju kebahagiaan dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.
Sebaliknya, jika berpaling dari al-Qur’an dan mengabaikan ajarannya, menjadi awal segala kesengsaraan hidupnya kelak. Pikirannya terbuai dalam angan-angan kosong yang dijanjikan oleh setan. Sedang dirinya tenggelam dalam kubang maksiat kepada Allah.
Senada di atas, az-Zujai seperti dihimpun oleh asy-Syaukani dalam Tafsir Fathu al-Qadir berkata, siapa di antara dari mempelajari hikmah yang terkandung di dalamnya niscaya Allah timpakan kepadanya pertemanan dengan setan.
Layaknya sekawan yang karib, orang itu tak lagi berjarak dengan setan yang sesungguhnya biang dari segala keburukan dan kesengsaraan dunia akhirat. Karena telanjur akrab, alih-alih mampu menolak, jiwa yang sudah tertipu itu tak sungkan lagi menuruti segala bisikan yang membuatnya terjerat dalam perangkap jahat setan.
Oleh Allah, orang itu kelak mendapatkan hukuman yang setimpal dan penyesalan tiada berbatas, “Berkatalah salah seorang di antara mereka. “Sesungguhnya aku dahulu di dunia mempunyai seorang teman yang berkata. Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang –orang yang membenarkan hari Kiamat? Apakah jika kita telah mati dan menjadi tanah dan tulang belulang? Apakah sesungguhnya kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan?
Berkata pulalah ia, Maukah kamu meninjau temanku itu?. Maka ia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu ditengah-tengah neraka menyala-nyala. Ia berkata pula. “Demi Allah, sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidaklah karena nikmat. Tuhanku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.” (Ash-Shaffat ayat 51-57).
Berteman Dengan Al-Qur’an
Ayat tersebut menerangkan makna menarik berupa korelasi sebab-akibat. Seorang hamba yang menjauh dari al-Qur’an justru kian mendekatkan dirinya kepada setan. Layaknya sebuah promosi gratis musuh Allah itu dengan senang hati berkawan kepada manusia-manusia yang diliputi kegalauan jiwa.
Tak tanggung-tanggung ikatan mereka langsung menjadi hubungan spesial yang dinamai qarin. Sebuah nama untuk persahabatan yang dekat dalam istilah al-Qur’an.
Disaat yang sama, orang yang sudah punya hubungan karib dengan setan, pastinya merasakan kegelisahan saat berhadapan dengan cahaya al-qur’an. Alih-alih bisa larut dalam pesona mukjizat al-Qur’an, orang yang berkawan dengan setan itu justru terbakar oleh cahaya yang dipancarkan wahyu Allah itu.
Untuk itu, ayat ini bisa menjadi bahan uji sederhana terhadap kualitas keimanan seseorang. Apakah ia mampu merasakan atmosfir keteduhan jiwa melalui sentuhan al-Qur’an ataukah sebaliknya, justru aura kegelisahan itu yang kian tampak mengusai dirinya? Apakah orang itu lebih betah melewatkan waktu luangnya dengan membaca al-Qur’an atau memilih tenggelam selama berjam-jam hanya dengan perbuatan sia-sia bahkan mengandung dosa?
Bahaya Islam Phobia
Lebih jauh Ahmad bin Musthafa al-Maraghi mengurai dampak yang sangat dahsyat dari sikap menyepelekan al-Qur’an. Menurutnya, orang yang berani mengabaikan syariat agama dan tenggelam dalam kelezatan dunia.
Allah menjadikan dirinya terbelunggu oleh tipu daya setan. Saban waktu pikiran orang tersebut hanya dijejali oleh pesona syahwat dunia dan materi yang melenakan.
Menurut pengarang Tafsir al-Maraghi tersebut, ketika hal itu menimpa orang yang terjangkiti virus anti al-Qur’an mendadak berubah menjadi sosok Islam phobia. Ia berbalik arah menjadi orang terdepan yang menentang ajaran al-Qur’an dan syariat Islam. Setiap waktu ia justru larut dalam diskusi pemikiran dan perilaku yang merugikan serta menyakiti umat Islam.
Di katakan ibarat seekor lalat yang suka hinggap di berbagai kotoran atau lingkungan yang jorok, orang yang berpaling dari al-Qur’an itu hanya melahirkan keburukan dan maksiat kepada Allah. Atas nama pembaharuan agama misalnya mereka justru telah menistakan kesucian agama dengan cara berpikir yang nyeleneh.
Boleh jadi inilah yang terjadi bagi sekelompok masyarakat yang kini dikenal dengan pemuja aliran sipilis (Sekularisme, Pluralisme, dan liberalisme). Meski kelompok itu datang mengatasnamakan gerakan Islam pembaharuan, tetapi sebenarnya mereka datang dengan racun pemikiran yang berbahaya buat umat Islam.
Faktanya, dengan karunia nalar yang diberikan oleh Allah mereka justru berusaha mengobok-ngobok ajaran Islam. Silih berganti syuhbat dan syahwat merekam hembus kepada umat Islam hanya untuk mengaburkan nilai-nilai al-Qur’an. Ironis karena yang demikian itu bukan karena tak pagham dengan ajaran Islam, sebab tak sedikit diantara mereka berlatar akademisi, bahkan tergolong cendekia yang punya segudang ilmu pengetahuan.
Alhasil, tak ada alasan menunda untuk mengaca kembali kepada hikmah yang dikandung dalam al-qur’an. Sebab di sana ada telaga jernih tempat hati bercermin mematut diri kembali. Boleh jadi jiwa ini tak mampu merasakan kenikmatan membaca al-Qur’an bersebab kotoran yang melekat di dalam hati. Boleh jadi hati ini keras karena mulai berpaling dari dakwah dan syariat yang digariskan oleh Allah. Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Pemikiran Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA ) Bogor.!!!!
Sumber: Majalah Mulia, Berbagi Kemuliaan Hidup
Thanks for reading Bahaya Berpaling Dari Al-Qur’an. Please share...!
0 Comment for "Bahaya Berpaling Dari Al-Qur’an"