Sajadah Muslim ~ Bismillahirrohmanirrohiim. Alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin, was-sholaatu wassalaamu ‘alaa asyrofil anbiyaa-i wal mursaliin, sayyidina muhammadin, wa’ala alihi wa’ashabihi aj’ma’iin, Amma ba’du.
Kepada yang terhormat bapak..., para alim ulama, para ustadz dan ustadzah, para bapak, ibu, hadirin dan hadirat yang saya muliakan.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam yang telah menganugrahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat bertatap muka dalam majelis yang mulia ini, tanpa ada halangan apapun. Shalawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengeluarkan kita dari gelap gulita kebodohan dan kekafiran menuju cahaya kebenaran dan keselamatan, melalui agama yang dibawanya, yaitu agama Islam.
Saudara, bapak dan ibu sekalian yang saya muliakan
Di antara akhlak terpuji adalah memiliki rasa malu (al-haya’). Rasa malu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan, agar manusia tidak berbuat sesukanya, tanpa memperhatikan etika agama. Islam memandang malu adalah termasuk dari Iman. Rasulullah SAW bersabda:
“Sikap malu dan kalem adalah dua cabang iman. Caci maki dan lancang mulut adalah dua cabang sifat munafik.”
Dalam hadis lain beliau juga bersabda: “Al-Haya adalah sebagian dari pada iman dan iman tempatnya di surga. Sedangkan lancang mulut adalah kebengisan, dan kebengisan terminalnya di neraka.”
Orang kerap memilih istilah tak tahu malu, untuk menunjukkan perbuatan kurang ajar atau kebal muka. Bagi yang terbiasa, orang tidak malu-malu lagi berbuat tak senonoh meski disaksikan orang banyak. Karena iman yang semakin menipis membuat sebagian remaja putri yang tidak lagi merasa malu mempertontonkan pusar dan perutnya, laki-laki dan perempuan tidak malu-malu lagi berangkulan berpeluk cium di depan umum, bahkan tidak malu bunting sebelum menikah.
Dulu, orang tua mau mengajar anaknya yang bunting dan melakukan perzinaan sebelum menikah, karena beratnya pelanggaran dan besarnya dosa yang telah dilakukan. Namun agaknya sekarang hal itu sudah biasa dan wajar-wajar saja. Adalah Umar ra memerintahkan pencambukkan anaknya. Abu Syahmah, hingga tewas karena zina. Anjuran beberapa sahabat untuk mem”peti es” kan perbuatan anaknya ditolak tegas oleh Umar. “Hai anakku, lebih baik engkau menerima hukuman ini sekarang, dari pada nanti ayahmu menanggung malu di hadapan Allah di akhirat!” Kata Umar kepada anaknya.
Tradisi mundur dari jabatan, seharusnya dibiasakan bagi para pejabat, jika menurutnya kalau kursi itu diduduki, ia akan menanggung malu di depan rakyat.
Kitab-kitab akhlak, tauhid, tasawuf, atau fiqih selalu mengurai butir-butir peribahasa atau puisi-puisi yang menyuruh bersikap khudhu’, merendah diri dan bersikap malu. Banyak ulama salaf yang tidak suka publisitas untuk mencari popularitas demi jabatan dan harta kekayaan. Abu Dzar Al-Ghiffari, seorang sahabat yang pemalu. Ia dikenal sangat alim dan luar biasa jujurnya. Ia tinggal menyudut ke pinggir kota, menghindakan seluruh tawaran jabatan yang diberikan kepadanya. Namun sekali dipinta fatwanya, terlihat kepandaian dan keluasan ilmunya, ia dengan jujur dan tidak malu-malu mengkritik keburukan tatanan sosial dan kebobrokan para penguasa.
Seorang hukama mengatakan: “Barangsiapa menutup dirinya dengan baju malu, maka aib dirinya tidak akan terlihat orang.” Nabi SAW bersabda: “Wahai manusia, kalau kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.”
Saudara, bapak dan ibu sekalian yang saya muliakan
Ada tiga rupa sifat malu, yaitu malu terhadap Allah, malu kepada orang lain, dan malu kepada diri sendiri. Pertama: Malu kepada Allah, adalah dengan mengikuti peritah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya. Ibnu Masud meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda: “Malulah kalian kepada Allah Azza wa Jalla dengan malu yang sungguh-sungguh?” Beliau bersabda: “Barangsiapa memelihara kepala dan isinya, perut dan muatannya, menepiskan perhiasan dunia, mengingat maut dan siksa, berarti dia sudah berbuat malu kepada Allah dengan malu yang sesungguh-sungguhnya.”
Pernah suatu ketika ada seorang datang meminta nasihat kepada Nabi SAW: “Wahai Rasul, berilah aku nasihat!” Rasulullah bersabda: “Hendaklah kamu malu kepada Allah Azza wa Jallah, seperti halnya engkau malu kepada orang-orang terhormat dari kaummu.”
Kedua: Malu kepada manusia, adalah dengan menahan cacian (kaffil adza) dan meninggalkan keburukan secara terus terang (tarkil mujaharah bil qabih). Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk takwa kepada Allah, adalah memelihara hubungan baik dengan manusia.”
Bentuk haya’ semacam ini, bisa muncul dari tata krama dan sopan santun terhadap sesama manusia. Karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menggunakan jilbab haya, ia takkan terfitnah.”
Ketiga: Malu kepada diri sendiri, adalah dengan kesucian diri atau meninggalkan keinginan yang hina (’iffah), dan memelihara perenungan diri (shiyanah al-khalawat). Seorang ahli hikmat mengatakan: “Hendaknya malumu kepada dirimu sendiri lebih besar dari pada malumu kepada orang lain.”
Bantuk malu (haya’) ini, terbit dari keutamaan jiwa (fadhilat al-nafs) dan keindahan perilaku (husnu al-sarirah). Ketika seseorang memiliki ketiga jenis malu itu dan mampu menerapkan secara proporsional, maka sempurnalah baginya jalan-jalan kebaikan, dan tercegah darinya biang-biang kejahatan. Hidupnya terhormat dalam pandangan manusia dan mulia dalam pandangan Allah SWT.
Saudara, bapak dan ibu sekalian yang saya muliakan
Mengakhiri kultum dalam kesempatan yang mulia ini, semoga Allah senantiasa menganugerahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, dan semoga kita mampu memelihara shalat dengan baik, sehingga kita mendapatkan balasan surga di sisi Allah, amin. Demikianlah, yang dapat saya sampaikan, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas kesalahan dan kurang lebihya. Hadanallah waiyyakum ajma’in, was salamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Oleh Ustadz Abdullah Farouk & Ustadz MS. Ibnu Hasan
Labels:
Kumpulan Ceramah Kultum
Thanks for reading Kultum: Malu, Al-Haya’. Please share...!
0 Comment for "Kultum: Malu, Al-Haya’"