Sajadah Muslim ~ Pembacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa saat peringatan Isra Mi’raj beberpa waktu lalu di Istana negara sempat menuai kontroversi. Tidak sedikit orang yang terkejut saat mendenagarnya. Pasalnya, lantunan ayat al-Qur’an yang dibacakan oleh qari Muhammad Yasser Arafat yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggunakan langgam Jawa.
Munculnya pambacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa ini adalah ide menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Menteri agama mengatakan bahwa tujuan pembacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa ungtuk menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Nusantara.
Sayangnya, ide yang dicetuskan dalam acara besar peringatan Isra Mi’raj ini menimbulkan gelombang ketidaksetujuan. Resistensi pembacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa tersebut cukup besar. Tidak sedikit masyarakat yang kemudian bertanya sekaligus menganologikan bagaimana kalau lagu Indonesia Raya saat acara kenegaran dinyanyikan dengan langgam Jawa atau budaya yang lain? Apakah orang Indonesia bisa menerima atau tidak?
Dianjurkan dengan Lahjah Arab
Mungkin bagi sebagian orang yang sudah terbiasa mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an dengan langgam budaya setempat menganggapnya tidak masalah. Hal biasa yang tidak perlu dipersoalkan.
Tetapi tidak bagi kebanyakkan orang yang lazim pembacaan al-Qur’an biasanya dengan lahjah Arab. Sehingga ketika di sebuah peringatan Isra Mir’aj yang dihadiri oleh para petinggi negeri dibacakan lantunan al-Qur’an berlanggam lain sontak banyak orang terpengaruh. Ini dianggap sebuah laku nyeleneh.
Karena itu, tak ayal, sejumlah kalangan mengkritik tajam pembacaan model seperti ini. Qari internasional, Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar, memberikan komentarnya mengenai qira’at dengan langgam Jawa tersebut. Sang qari internasional setelah menyimak bacaan al-Qur’an dengan langgam jawa tersebut mencatat beberapa hal :
Pertama, kesalahan tajwid, dimana panjang madnya dipaksakan mengikuti kebutuhan lagu.
Kedua, ada kesalahan jahjah (logat). Sebab menurutnya, membaca al-Qur’an sangat dianjurkan menggunakan lahjah Arab, sebagaimana orang Arab membacanya. Seperti dikatakan dalam sebuah hadits. “Iqra’ul qur’aana bi luhuunil’Arabi wa ashawaatiha.”
Ketiga, kesalahan takalluf, yakni memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim dalam membaca al-Qur’an.
Keempat, yang cukup berbahaya apabila ada kesalahan niat, yaitu merasa perlu menonjolkan ke Jawa-an atau ke-Indonesia-an atau kebangsaan saat berinteraksi dengan al-Qur’an. Dan yang dianggap fatal apabila ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
Qari internasional asal negeri ini KH. Muammar ZA, pun tidak sreg pembacaan al-Qur’an dengan langgam non Arab. Kata Muammar, membaca al-Qur’an dengan langgam Jawa dan Sunda sebagai contoh, adalah cara membaca yang dilarang oleh Nabi Muhammad saw. Muammar juga memberikan contoh potongan-potongan bacaan al-Qur’an dalam langgam Jawa dan Sunda, jauh lebih baik dari bacaan Muhammad Yasser Arafat, saat membaca di Istana Negara. Pernyataan Muammar ini dapat dilihat dalam sebuah video yang diunggah ke Youtube.
Sama seperti Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar. Muammar menukil sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada kita untuk menghiasi al-Qur’an agar lebih bagus lagi namun tetap harus dengan bahasa dialek dzauq serta lagu Arab.
Komentar lebih tajam datang dari Tengku Zulkarnaen, Wakil Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Membaca al-Qur’an dengan menggunakan langgam Jawa di Istana Negara, menurutnya telah mempermalukan Indonesia di kancah internasional. Sebagaimana ditulis Republika co.id (17/5). Tengku merasa banyak kesalahan, baik dari segi tajwid, fashahah dan lagunya.
Dalam al-Qur’an sudah dijelaskan kitab suci diturunkan dengan bahasa Arab asli. Jadi membacanya juga mesti sesuai pada saat al-Qur’an diturunkan ke bumi. Di samping itu, tambahnya lagu untuk pembacaan al-Qur’an sendiri sudah disepakati para qurra yang ada di dunia. Karena itu, lanjutnya menjadi aneh apabila al-Qur’an dibaca dengan langgam lain.
Tajwid dan Makhraj Harus Benar
Dari dalil yang ada memang umat Islam diperintahkan membaca al-Qur’an dengan lahn dan shaut Arab. Akan tetapi tak ada dalil yang menyatakan palarangan membacanya dengan langgam lain selain Arab. Itulah yang dijadikan alasan oleh sebagian kalangan yang menganggap bahwa sah-sah saja melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan langgam lain.
Bahkan dengan langgam non-Arab asal makhraj dan tajwidnya benar, itu tidak perlu dimasalahkan. KH. Ahsin Sakho. Muhammad. Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an menegaskan bahwa cara membaca al-Qur’an merupakan hasil kaya seni manusia yang dirangkum dalam kalamullah. Ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan lahir dari seni budaya masyarakat tertentu.
Yang penting kata Ahsin, bacaan pada langgam budaya harus tetap mengacu seperti yang diajarkan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Ahsin menjelaskan cara membaca al-Qur’an yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dalil shahih yang melarangnya. Lebih lanjut katanya saat ini masyarakat Indonesia hanya mengenal satu pintu dalam mendengarkan cara melantunkan al-Qur’an. Seluruhnya terangkum dalam tujuh seni dalam membaca al-Qur’an yakni Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Roast, Sika, dan Jiharka.
Begitu pula pendapat Ketua PBNU. Maksum Machfoedz. Boleh-boleh saja asalkan sesuai standar bacaan. Standar baca tersebut meliputi tajwid dan makhari jul huruf. Menurut Maksum, apabila ingin menambahkan langgam dalam bacaan al-Qur’an, tentu disesuaikan dengan standar bacaan. Tidak boleh sebaliknya, standar bacaan yang mengikuti langgam. Sepanjang standar dipenuhi, lanjut Makmsum, rasanya hanya ada perbedaan gaya baca atau lagu saja. Seandainya langgam tersebut diterapkan ke dalam bacaan lain seperti shalawatan, adzan, suluk dan sebagainya yang disesuaikan dengan lagu dan tata cara ritual lokal, lanjut Maksum, itu masih diperbolehkan. Sebab itu pula yang dilakukan para pendahulu dalam menyiarkan agama Islam. Namun pendapat mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar sedikit berbeda. Pembacaan al-Qur’an dengan langgam Jawa sebenarnya tak masalah. Menurut Nasaruddin, selama tidak merusak tajwid intonasi, maupun makna dari al-Qur’an itu sendiri, maka penggunaan langgam Jawa tersebut tidak dilarang.
Tetapi masalah ini jadi kontroversi kata Nasaruddin, lantaran masyarakat belum terbiasa mendengar langgam Jawa yang digunakan untuk membaca al-Qur’an. Ia mengkhawatirkan hal ini akan mengganggu telinga masyarakat. Karena masyarakat Indonesia kalau soal agama itu sensitif.
Khilafiyah
Dari semua uraian di atas jelas pembacaan ayat al-Qur’an dengan langgam non-Arab masuk area khilafiyah (perbedaan pendapat). Ada yang tidak mempermasalahkan, dalam arti boleh-boleh saja dengan catatan tetap mengacu pedoman membaca al-Qur’an, ada yang sama sekali menolak. Telinga kita yang mendengar pembacaan al-Qur’an dengan bacaan lain selain Arab, mungkin akan menemukan keanehan. Berbeda dari yang biasanya kita dengar. Sehingga pertanyaan yang muncul kemudian apabila dibolehkan dengan langgam Jawa, berarti oleh juga al-Qur’an dinyanyikan dengan langgam daerahnya dan negaranya, masing-masing ? Atau boleh juga dengan irama yang lebih nge-rock dangdut, seriosa atau nge-pop hiphop dan sebagainya?
Tetapi jika tidak dibolehkan, pertanyaannnya adalah adakah ketentuan baku yang melarangnya? Dasar hadits yang ada adalah anjuran membaca al-Qur’an dengan lahjah Arab. Kalupun hadits itu dinilai shahih, bukan berarti bahwa langgam selain langgam Arab dilarang Nabi saw, menekankan dibaca dengan baik dan indah. Sehingga menurut pendapat kedua, karena tidak ada dasar yang melarangnya, maka tidak mengapa apabila al-Qur’an dibaca dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi. Wallahu a’lamu bish shawab.
Oleh Herry Munhanif
Labels:
Kitab Al Quran,
Menghafal Al Quran
Thanks for reading Bila Ayat Al Quran Di Baca Dengan Langgam Berbeda. Please share...!
0 Comment for "Bila Ayat Al Quran Di Baca Dengan Langgam Berbeda"