Sajadah Muslim ~ Istri berhak menentukan statusnya sendiri bila suaminya mafqud (menghilang) dalam waktu yang lama. Tiada kabar dan berita dari suami yang pergi dalam waktu lama. Pastinya, membuat istri terombang-ambing. Bukan hanya resah karena alasan keberadaan dan motifnya, tetapi seiring waktu juga membingungkan statusnya sebagai istri. Semestinya, jika ia masih istri yang sah dari suaminya, nafkah lahir bathin wajib ia dapatkan. Akan tetapi, akibat ketidak jelasan keberadaan sang suami, semua itu tak lagi di dapat.
Spekulasi pun tak jarang bermunculan akibat ketidakpastian dan ketidakjelasan posisi suami yang menghilang itu. Di satu sisi, istri mau bertahan meskipun suaminya tak lagi memberi nafkah lahir-batin. Ia rela menunggu sampai kapanpun suaminya datang. Tetapi di lain sisi, ada juga yang tak bisa menahannya karena berbagai alasan hingga memutuskan untuk menikah lagi. Misalnya lantaran anak-anak yang butuh figur ayah, rindu akan sosok pendamping yang siap melindungi, tak kuat memainkan peran single parent maupun berbagai alasan lain.
Untuk melempangkan jalan menikah lagi, sayangnya, para istri dari suami mafqud kerap kebingungan untuk menentukan langkah. Mereka tidak tahu bagaimana cara mengajukan cerai, mengingat tidak tahu dimana suaminya berada. Mereka pun tidak yakin apakah suaminya mau menceraikannya ataukah tidak mau.
Kebingungan yang demikian lambat laun bukan tidak mungkin menjenuhkan. Alih-alih sabar menunggu, mereka malah menarik kesimpulan sendiri menyikapi statusnya yang samar. Merasa tidak dinafkahi dalam waktu lama, mereka pun menganggap dirinya telah menjanda. Dengan status dugaan itu, para istri dari suami mafqud akhirnya membuka relasi baru dengan lelaki lain, baik yang tujuannya hanya sekadar pacaran maupun sampai menikah lagi.
Tindakan yang bermula dari ‘dugaan’ itu tentunya menimbulkan resiko serius, bagaimana bila tak lama kemudian suaminya kembali pulang dan menggugat perkawinan tersebut? Bagaimana status perkawinan yang kedua? Apalagi bila ternyata dari hasil perkawinan kedua itu dikarunia momongan.
LAPOR PENGADILAN
Suami dalam fiqih Islam, adalah pemegang keputusan dalam menceraikan. Sepanjang suami tidak menjatuhkan talak kepada istrinya, maka perkawinan tetap dinyatakan sah alias tidak cerai. Namun bila terjadi perselisihan yang sulit didamaikan antara suami-istri sehingga menyebabkan istri menginginkan pisah dari suaminya. Islam membenarkan bahwa istri berhak mengajukan cerai. Kasus-kasus seperti ini jamak terjadi dalam khulu atau faskh.
Dalam hal suami mafqud, istri pun sebenarnya boleh melakukan hal yang sama. Bila ia menghendaki untuk berpisah dari suaminya, ia pun berhak mengajukan gugat cerai. Namun terlebih dulu hendaknya ia melapor ke kantor Pengadilan Agama. Sebab di sinilah pihak yang berwewenang memutuskan untuk menceraikan si istri dari suaminya yang mafqud tersebut. Pihak Pengadilan pula yang akan menetapkan apakah istri masuk dalam kategori khulu’ ataupun faskh. Alasan tidak dapatnya nafkah lahir-batin dari suami mafqud bisa menjadi pintu masuk bagi Pengadilan untuk meloloskan istri cerai dari suaminya.
Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan oleh Departeman Agama, Bab XI pasal 71 point b, disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan bila perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafquf (hilang tak ketahuan rimbanya)”
Cara ini sekaligus menjawab fenomena yang kerap salah kaprah yang dilakukan para istri dari suami mafqud. Seringkali mereka memutuskan untuk langsung menikah dengan pria lain, sementara di atas kertas dirinya masih istri sah dari suami pertamanya. Selain itu juga mempersempit ruang perselingkuhan akibat kesalahan anggapan bahwa dia menjadi janda secara otomatis akibat suaminya mafqud (hilang).
TERKAIT TA’LIQ TALAK
Lihat dan bukalah sejenak buku nikah Anda. Dan temukan di dalamnya kalimat berikut :
- Bila (a.) Suami meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut, atau (b.) Tidak memberi nafkah wajib selama 3 (tiga) bulan lamanya, atau (c.) Manyakiti badan/jasmani istri atau (d.) Membiarkan/tidak mempedulikan istri selama 6 (enam ) bulan lamanya.
- Istri tidak menerima perlakuan itu
- Istri mengajukan gugatan cerai kepada pihak pengadilan
- Pengadilan membenarkan dan menerima gugatan itu
- Istri membayar (sejumlah uang) sebagai iwadh (pengganti) kepada suami, maka barulah talak satu terjadi.
Para pembuat undang-undang pernikahan di masa lalu sebenarnya ingin memberikan semacam perlindungan hukum kepada pihak perempuan dengan mengharuskan atau menganjurkan para pengantin laki-laki mengucapkan shighat ini. Sebab itulah lazim dalam sebuah prosesi akad nikah shighat ta’liq talak dibacakan. Dengan begitu konsekuensi harus diterima bila ternyata dalam masa perkawinan kelak sang suami melakukan hal-hal sebagaimana tercantum dalam ta’liq talak.
Menurut KHI, perjanjian ta’liq talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat (3). “Perjanjian ta’liq talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’liq talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali”.
Meski demikian, ta’liq talak ini tidak menimbulkan konsekwensi hukum bilamana pengantin laki-laki tidak mau mengucapkannya. Hukum membaca shighat ta’liq ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan syarat dan rukun nikah. Bahkan kalaupun suatu saat suami menyadari ada yang salah dalam sighat ta’liq itu, dia boleh saja mencabutnya kapan pun dia mau. Maka syarat yang diucapkannya dalam shighat itu menjadi tidak berlaku lagi.
BACA JUGA :
- Cara Bersuci Setelah Masa Haid
- Haid dan Istihadhah
- Bila Perempuan Muslimah Shalat Jumat
- Bersedekah Di Mata Nabi
- Sunnah Nabi Memuliakan Tamu
Untuk itu menjadi kewajiban pihak petugas pencatat nikah untuk menjelaskan apa makna dan konskuensi shighat ta’liq itu. Dan hal itu harus dilakukan sebelum acara akad yang biasanya agak formal dan sakral dilakukan. Calon suami harus tahu betul kedudukan shighat itu agar dia tidak melakukan sesuatu yang dia sendiri tidak paham maksudnya.
Terkait dengan mafqud-nya suami, ta’liq talak sebenarnya bisa dijadikan jembatan solusi bila di akad pernikahan ta’liq talak dibacakan. Khususnya bagi para istri yang tidak menginginkan statusnya menggantung lantaran mafqud-nya suami. Sebab, dengan begitu perceraian otomatis terjadi mengingat dalam salah satu point ta’liq tidak berbunyi, “Jika suami menghilang dalam jangka waktu tertentu (harus disebutkan berapa lama, misalnya 2 (dua) tahun sebagaimana dalam contoh shighat ta’liq di atas, atau tidak memberi nafkah, atau hal lain maka otomatis akan jatuh talak”.
Ironisnya, meski shighat ta’liq sudah diketahui dan menjadi maklum di awal pernikahan, namun tetap saja istri harus mengajukan tuntutan terlebih dulu ke Pengadilan Agama. Artinya, bila suami melanggar shighat ta’liq tapi si istri tidak mengajukan tuntutan, maka tidak akan terjadi perceraian. Padahal seharusnya, shighat ta’liq berlaku otomatis begitu suami melakukan pelanggaran dan tak perlu menunggu keputusan hakim.
Namun, demi menperkecil terjadi kesalahan prosedural, apa pun pelanggaran suami termasuk menghilang tanpa kabar berita dan tidak ada shighat ta’liq sejak awal akad, sebaiknya istri segera melaporkan ke pihak Pengadilan Agama. Dengan begitu ia akan segera mengetahui status hukumnya.
Dalam hal ini penting pula kepedulian semua pihak, terutama wali bagi para perempuan/istri untuk memperhatikan nasib mereka yang berada di bawah perwaliannya. Para tokoh masyarakat, pihak pemerintah, cerdik pandai pun seharusnya peduli akan rawannya terjadi kesalahan prosedural hukum terkait problem ini ditengah-tengah masyarakat akibat minimnya pengetahuan mereka. Wallahu A’lam.
Sumber : Fikih Nisa Seputar Problematika Ibadah Kaum Muslimah
0 Comment for "BILA SUAMI MAFQUD"