Sajadah Muslim ~ Hukum Islam memberikan aturan sendiri ihwal orang yang sedang berpergian, Bagaimana?
Puasa Saat Berpergian
Islam membolehkan berbuka (ifthar) bagi orang yang sedang berpergian. Artinya, boleh tidak menunaikan puasa meski hukumnya wajib, seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan kafarat. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (meng-qadha) di waktu lain. Ini sesuai dengan ketentuan dalam surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi: “Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan, boleh tidak berpuasa, namun hendaklah ia meng-qadha pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”
Pada konteks ini, pembahasan yang sering mengemuka adalah persoalan jarak perjalanan yang ditempuh oleh musafir. Menurut Imam Abu hanifah, perjalanannya itu harus memakan waktu selama tiga hari tiga malam atau dengan jarak tempuh sepanjang dua puluh empat farsakh. Berbeda dengan Imam Ahmad dan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa bolehnya berbuka perjalanan memakan waktu selama dua hari dua malam atau enam belas farsakh. Argumentasinya berpegang pada hadits. “Wahai ahli Mekkah, janganlah kamu meng-qasar (shalat) jika kurang dari empat barid, dari Mekkah ke Asfan” Satu barid sama dengan empat farsakh. Artinya, empat barid berjumlah enam belas farsakh.
Baca juga :
- Ihwal Ibadah I’tikaf Di Bulan Ramadhan
- Hukum Mencicipi Masakan Pada Saat Puasa
- Memahami Pembatal-Pembatal Puasa
- Puasa Bagi Pekerja Berat
- Jima Di Siang Hari Bulan Ramadhan
Berbuka puasa bagi musafir merupakan rukhsoh (keringanan) agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan (al’usr) atau memberatkan (al-masyaqah). Sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyah. Malikiyah dan Syafi’iyah. Dengan mempertimbangkan adanya masyaqah (karena memberatkan), puasa dalam perjalanan dapat dibedakan sebagai berikut :
Puasa lebih utama dari pada berbuka
Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu keberatan. Demikian pendapat jumhur ulama sesuai dengan ayat: “Dan bahwa kamu sekalian melaksanakan puasa adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai keutamaannya” (QS. 2 : 184).
Menurut Umar ibnu Abdul Aziz, puasa lebih baik bagi orang yang mudah mengerjakannya serta yang kesulitan apabila meng-qadha’nya. Puasa lebih utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat (masyaqah). Dalam soal masyaqah, kecuali fisik yang harus dipertimbangkan, kondisi kejiwaan ternyata lebih menentukan. Contohnya, sahabat Rasulullah saw, tetap menjalani puasa walaupun dalam keadaan perang.
Berbuka lebih baik
Lebih bagus berbuka karena Allah menyukai rukhsah-nya yang dikerjakan, demikian pendapat dari Imam Ahmad. Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar ra, dan Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang berpuasa, “Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala.”
Asy-Syaukani berpendapat bahwa orang yang kepayahan dan mengalami mudarat jika berpuasa, lebih bagus baginya berbuka. Begitu juga orang yang takut ujub dan riya’ apabila dia tetap berpuasa meski sebagai musafir. Argumentasinya diperkuat oleh hadits berikut :
“Ya Rasulullah, saya kuat menjalankan puasa dalam perjalanan, bolehkah saya lakukan? Jawab beliau, “Ini merupakan rukhshah dari Allah ta’ala, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin puasa tidak apa-apa.”
Berbuka lebih afdhal dari puasa yang dipaksakan, padahal terdapat masyaqah (keberatan). Dalam konteks ini, Rasulullah saw, bersabda tentang musafir yang tetap puasa dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi oleh orang banyak.
“Tidak merupakan kebaikan puasa dalam safar” Demikain Imam Bukhari menyimpulkan. Berbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat menghadapi musuh dalam berjihad. bahkan, berbuka menjadi wajib hukumnya bila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad.
Dalam kajian fiqhiyah, ulama menyimpulkan sejumlah persyaratan untuk mengambil rukhshah berbuka dalam perjalanan safar yaitu :
- Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat.
- Perjalanan relatif jauh menurut ukuran zamannya.
- Tidak memulai perjalanan dalam keadaan puasa agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai. Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan seorang supir), kecuali jika terjadi kesulitan (masyaqah).
Para ulama cenderung memilih dari beberapa pilihan yang ada. Wallahu’alam bis-shawwab.
Sumber : Majalah Hidayah Penerbit PT. Variasari Malindo
Labels:
Puasa Zakat
Thanks for reading Panduan Puasa Saat Berpergian. Please share...!
0 Comment for "Panduan Puasa Saat Berpergian"