Sajadah Muslim ~ “Makanlah dan minumlah sehingga nyata bagimu benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasamu sampai malam (terbenam matahari)” (QS. Al-Baqarah ayat 187).
Di bulan suci Ramadhan, coba tanyakan kepada orang yang berpuasa, maukah puasanya yang sebulan penuh itu sia-sia gara-gara melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah swt? Jawabannya pasti tidak. Sebab, selain sia-sia dan berdosa, si pelanggar juga harus menanggung beban kewajiban membayar, entah itu qadha, kafarah (fidyah), atau keduanya; qadha dan kafarah sekaligus. Qadha adalah kewajiban mengganti puasa pada hari atau bulan berikutnya karena sebab-sebab tertentu. Menurut kesepakatan ulama, qadha diwajibkan atas orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan selama sehari atau lebih karena ada uzur seperti sakit, melakukan perjalanan jauh, haid, dan lain-lainnya.
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu); memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 184). Selain itu, qadha juga diwajibkan atas orang yang membatalkan puasanya karena tidak uzur. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut.
Masa peng-qadha-an puasa Ramadhan itu sendiri sejak bulan Ramadhan berakhir hingga bulan Ramadhan berikutnya. Namun, seseorang di sunnahkan untuk menyegerakan peng-qadha-an puasanya. Hal ini bertujuan agar tanggunganya dan kewajibannya itu segera bebas dan gugur. Bagi mazhab Syafi’i, meng-qadha puasa dalam waktu yang sesegera mungkin hukumnya wajib bagi orang yang membatalkan puasanya tanpa ada uzur yang diakui kebenarannya. Dalam urusan qadha, ada hari-hari yang dilarang untuk meng-qadha-nya, seperti hari raya Lebaran, hari ketika suatu jenis puasa sudah di nazari dan terutama sekali peng-qadha-an puasa pada bulan Ramadhan berikutnya, sebab waktu tersebut telah ditetapkan sebagai hari H pelaksanaan puasa Ramadhan. Sedang, istilah kafarah itu secara bahasa artinya kaparat, terkutuk, kafir dan tak ber-Tuhan. Bisa juga berarti penebus atau penutup doa. Dalam masalah hukum Islam, terutama puasa, kafarah adalah hukuman yang dibebankan kepada seseorang karena pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Baca Juga :
- Jima Di Siang Hari Bulan Ramadhan
- Kenapa Wanita Hamil dan Menyusui Boleh Tidak Berpuasa
- Yang Makruh, Yang Perlu Diperhatikan Saat Berpuasa
- Puasa Bagi Pekerja Berat
Hukuman ini di sebut kafarah karena dengan hukuman tersebut dosa si pelaku pelanggaran akan terampuni Allah swt, sebab puasa adalah salah satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 183).
Biasanya, hal yang mewajibkan kafarah itu terjadi karena pembatalan puasa Ramadhan secara khusus, yaitu dilakukan secara sengaja atas kehendak sendiri. Hal ini menyebabkan kafarah diwajibkan, karena tindakan tersebut merusak kesucian puasa tanpa ada uzur yang membolehkan pembatalan puasa. Kendati demikian, kafarah atas orang yang membatalkan puasanya karena lupa dan terpaksa itu tidak diwajibkan. Begitu pula bagi wanita haid, wanita nifas, orang gila dan orang pingsan. Karena hal-hal tersebut bukan terjadi atas kehendak mereka. Kafarah juga tidak diwajibkan atas orang sakit, musafir, dan wanita hamil sebab mereka memiliki uzur.
Perihal kewajiban kafarah di atas pernah disinggung Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia mengatakan bahwa seseorang datang kepada Nabi saw, seraya berkata; “Aku celaka, wahai Rasulullah,” Beliau bertanya, “Apa yang mencelakakanmu”?
“Aku menyetubuh istriku pada bulan Ramadhan,” jawabnya.
“Apakah kamu dapat memerdekakan hamba sahaya (budak)?” Tanya Rasulullah. ”Tidak”
“Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut.?” “Tidak”
“Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada 60 (enam puluh) orang miskin” Beliau bertanya lagi. “Tidak” Jawabnya tegas.
Abu Hurairah menceritakan kembali bahwa kemudian Nabi Saw duduk. Setelah itu, kepada beliau didatangkan sekeranjang buah kurma.
“Bersedekahlah dengan ini” Usul Rasulullah saw.
“Apakah makanan ini akan diberikan kepada orang yang lebih fakir dari kami? Padahal tak satu pun keluarga yang berada di antara perbatasan daerah kami yang lebih membutuhkan makanan ini selain kami.” Jawab laki-laki itu. Mendengar jawaban tersebut, Nabi saw, tertawa hingga beberapa gigi gerahamnya terlihat. Beliau pun bersabda, “Pergilah! Dan berikan makanan ini kepada keluarga-Mu” (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadits itu pula, kafarah terbagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu :
- Memerdekakan hamba sahaya.
- Berpuasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut.
- Memberi makan 60 (enam puluh) orang fakir miskin.
Demikianlah betapa urusan puasa dan membayar kafarah menjadi penting adanya. Oleh karena itu, untuk menghindari kewajiban meng-qadha dan membayar kafarah tersebut, kiranya, kita perlu mengetahui hal-hal yang membatalkan ketika berpuasa antara lain:
Makan dan Minum dengan Sengaja
Semua ulama mazhab sepakat kalau hal ini wajib di qadha. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kewajiban kafarah. Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak mewajibkan (pendapat ini yang paling banyak digunakan) sementara Imam Hanafi mewajibkannya. Sedang bagi orang yang makan dan minum dengan atau karena lupa, maka tidak harus meng-qadha dan tidak pula membayar kafarah.
Mengeluarkan Sperma
Air mani bukan karena persetubuhan (istimna/onan*/masturb*si), baik istimna’ yang diharamkan seperti mengeluarkan air mani dengan tangan sendiri maupun istimna’ dengan tangan istri. Begitu juga, puasa seseorang akan batal karena mengeluarkan air mani disebabkan oleh bersentuhan, mencium, atau tidur dengan perempuan tanpa mengenakan pakaian (telanjang). Semua ini diwajibkan meng-qadha. Sedangkan, bersetubuh secara sengaja di siang hari itu membatalkan puasa dengan kewajiban meng-qadha dan membayar kafarah. Semua ulam mazhab menyepakati hal ini. Cara membayar kafarah-nya adalah pertama, memerdekakan budak, kedua bila hal pertama tidak mampu, maka diwajibkan puasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut tanpa berhenti. Ketiga, jika yang kedua tidak bisa dipenuhi, maka ia harus memberikan makan kepada 60 (enam puluh) orang fakir miskin. Sistem pembayaran kafarah tersebut berdasarkan pendapat Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan Imam Hanafi. Namun, menurut Imam Malik, tiga bentuk kafarah itu bisa dipilih. Artinya seorang mukallaf diperbolehkan untuk memilih salah satunya sesuai kehendaknya. Demikian Imam Malik berpendapat. Lebih dari itu, dalam kasus ini, Imam Syafi’i, seperti di lansir oleh Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, secara khusus membuat kriteria persenggamaan pada siang hari yang wajib dibayar dengan kafarah selama bulan Ramadhan, antara lain:
- Adanya faktor kesengajaan
- Tidak terpaksa
- Sadar dan tahu akan keharaman bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan.
- Terjadi pada siang hari bulan Ramadhan. Kalau itu terjadi puasa wajib selain Ramadhan, maka tidak dikenai sanksi.
- Tidak mengerjakan hal yang membatalkan puasa sebelumnya. Sehingga jika ia makan lebih dahulu, kemudian bersenggama, ia tidak terkena sanksi ini. Begitu juga jika telah melakukan percumbuan (yang membatalkan puasa) selain bersetubuh.
- Ia seorang mukallaf yang tidak mempunyai ‘uzur berpuasa. Karena itu anak kecil, orang yang bepergian (musafir) yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh, dan orang sakit yang mencapai’ udzur puasa tidak dikenai sanksi tersebut di atas.
- Yakin bahwa puasanya sah. Maka tidak ada kafarah bagi orang yang sengaja bersenggama yang menduga kalau puasanya telah batal.
- Tidak keliru. Karena itu, jika seseorang bersetubuh karena menduga waktu masih malam, belum datang Subuh, tidak wajib baginya kafarah.
- Tidak menjadi gila atau meninggal dunia seusai ia bersenggama.
- Persenggamaan tersebut memang benar-benar atas dasar kehendak dan suka sama suka. Sehingga seandainya si lelaki atau si perempuan diperkos*, dengan cara melemahkan badannya agar tak mampu berontak, atau dengan cara apa saja, maka kafarah hanya wajib bagi si pemerkosa.
- Persenggamaan benar terjadi, minimal dengan masuknya kepala p*nis ke liang vagin*.
- Persenggamaan tersebut dilakukan pada lubang kemalu*n, baik itu anus, dengan sesama jenis, orang mati, atau binatang. Adapun persenggamaan bukan pada lubang kemaluan (seperti oral se*s), tidak mewajibkan kafarah.
Muntah dengan Sengaja
Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa muntah dengan sengaja wajib meng-qadha. Tetapi menurut Imam Hanafi, orang yang muntah itu tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahannya itu memenuhi mulutnya. Sedang Imam Hambali berpendapat kalau muntah karena terpaksa itu tidak membatalkan puasa.
Kemasukan Air Ketika Berkumur
Istinyaq yang disyariatkan ke dalam tenggorokan. Dengan catatan berkumur atau istinsyaq-nya itu dilakukan secara berlebihan.
Menelan Ingus atau Dahak
Yakni ingus dan dahak yang turun dari kepala atau tenggorokan. Adapun jika ingus atau dahak itu tertelan dengan sendirinya dan tidak bisa dibuang, maka puasa seseorang itu tidak batal.
Kemasukkan Sesuatu Ke dalam Tenggorokan
Walaupun sebesar semut kecil atau kemasukkan suatu benda yang tidak bisa dimakan seperti batu kerikil atau tanah.
Di suntik dengan Cairan
Hal ini dapat membatalkan (merusak) puasa. Karena itu bagi yang disuntik diwajibkan meng-qadha. Begitulah semua ulama mazhab berpendapat. Wallahu’alam bil shawwab.
Sumber : Majalah Hidayah Penerbit PT. Variasari Malindo
Labels:
Puasa Zakat
Thanks for reading Memahami Pembatal-Pembatal Puasa. Please share...!
0 Comment for "Memahami Pembatal-Pembatal Puasa"