Sajadah Muslim ~ Lebaran adalah simbol kebersamaan. Bila berlalu bisakah tetap selalu bersama? Bulan Ramadhan nan mulia baru saja berlalu. Sebulan penuh umat Islam bergulat dalam aktifitas ibadah. Selama tiga puluh hari itu pula kaum muslim menjalankan rangkaian ibadahnya secara massif, semenjak terjaga dini hari untuk sahur sampai menjelang tidur kembali di malam harinya. Sehingga tanpa disadari, hari-hari tersebut banyak dihabiskan setiap orang di rumah.
Betapa tidak. Yang demikian terjadi lantaran pemberlakuan jam kerja dipercepat agar para karyawan bisa kembali ke rumah. Sekolah-sekolah pun memberi tambahan libur demi menghormati aktifitas ibadah selama Ramadhan. Apalagi, jika Ramadhan bertepatan dengan liburan panjang. Walhasil, setiap orang berpeluang menghabiskan waktu lebih lama bersama anggota keluarganya.
Menjelang berbuka puasa dan menikmati santap sahur merupakan momen yang sangat kental nuansa kekeluargaan. Pasalnya selama Ramadhan, setiap orang wajib melewati kegiatan santap hidangan dalam kedua waktu tersebut. Berbuka menjadi penanda seseorang telah membatalkan puasa makan-minumnya selama sehari penuh. Sebaiknya, sahur merupakan media charging agar ia mampu menahan hasrat makan – minum seharian.
Meski begitu pada dua kondisi tersebutlah setiap orang merasakan kebahagian. Sahur dan berbuka terasa menjadi momen istimewa karena tak lazim ada dihari-hari biasa. Sehingga Rasulullah pun menegaskan bahwa dalam kedua momen tersebut mengandung nilai keberkahan tiada tara. Bahkan bila berdoa di kedua waktu tersebut, diterangai sebagai momen mustajab, dimana doa yang dipanjatkan niscaya dikabulkan Allah.
Nabi saw bersabda. “Sesungguhnya makan sahur adalah berkah yang Allah berikan kepada kalian. Maka janganlah kalian tinggalkan.” (HR Nasa'i dan Ahmad).
Namun bila Ramadhan sudah berlalu apakah keberkahan dan kebersamaan yang tercipta dalam momen-momen tersebut akan hilang?
Shalat Berjamaah
Selain berpuasa, kegiatan shalat di bulan ini lebih sering dilaksanakan secara berjamaah. Terutama sekali waktu shalat Magrib, Isya dan Shubuh. Momen kebersamaan yang tercipta saat berbuka dan sahur rupanya makin merekatkan kebersamaan satu sama lain. Sehingga waktu-waktu shalat yang memungkinkan keluarga berkumpul maka dilakukan secara berjamaah. Sebab itu, baik dilaksanakan di rumah maupun pergi ke masjid, semua anggota keluarga tetap merasakan suka cita menjalaninya.
Dalam momentum shalat berjamaah ini pula kita bisa menumbuhkan rasa kecintaan anggota keluarga kepada masjid. Terutama sekali orang tua yang hendak mendidik anak-anaknya agar dekat dengan rumah ibadah umat Islam tersebut. Kita bisa membuat program safari dari masjid ke masjid. Ketertarikan tersebut juga dapat dikombinasikan dengan meluangkan waktu untuk beri'tikaf (berdiam diri di masjid). Kita bisa bekerja sama dengan pengurus masjid atau penyelenggara i'tikaf untuk mengatur semua keperluan dengan baik. Sehingga kegiatan i'tikaf bersama keluarga insya Allah akan terasa jauh lebih nyaman dan praktis.
Selain kebutuhan makan kita disediakan, panitia juga biasanya merancang program-program pendukung seperti tausiyah, muhasabah dan lain-lainnya yang dapat kita ikuti selama masa i'tikaf berlangsung. Meski begitu, akankah kebersamaan dalam beribadah itu hilang karena Ramadhan berlalu? Apakah kebaikan-kebaikan yang tercipta selama bulan suci tersebut tak bisa kita lanjutkan pada bulan-bulan setelahnya?
Bulan Pendidikan
Bulan Ramadhan membuka peluang dan kesempatan besar untuk mewujudkan keharmonisan rumah tangga. Mulai dari kebersamaan, suasana keberagamaan, peningkatan kondisi rohani keluarga, dapat kita latih selama Ramadhan, sebagaimana yang diteladani Rasulullah saw. Hal tersebut sejatinya akan membekas dan berkelanjutan bila keluarga menjadikan Ramadhan sebagai titik pijak untuk sebuah perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah makin bersemainya nilai-nilai positif yang diamalkan seluruh anggota keluarga. Baik itu ditandai dengan makin semangatnya beribadah maupun makin dekat hubungan seluruh anggota keluarga.
Untuk itu, peran dan kendali orang tua sangat dibutuhkan agar kebaikan-kebaikan selama Ramadhan tetap bisa dilestarikan. Karena seyogyanya ayah-ibu menjadikan Ramadhan sebagai momentum tarbiyah atau pendidikan. Orang tua harus mampu memberi pendidikan yang dapat menunjang ibadah puasa anak. Salah satunya dengan memberi tuntunan amalan sunah yang bisa mereka lakukan, seperti mendahulukan berbuka mengakhirkan sahur, membiasakan qiyamul-lail (bangun malam dan mengerjakan tarawih), membiasakan tadarus dan zikir, serta mengajak mereka menyambut lailatul qadar. Untuk pendidikan mendahulukan berbuka, Rasulullah saw bersabda, “Selalu manusia itu berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. al – Bukhari dan Muslim).
Begitu pula dengan pendidikan untuk mengakhirkan sahur yang penuh dengan kebaikan. Dalam sebuah hadits diterangkan Dari Anas Ra. “Kami sahur bersama Rasulullah Saw, kemudian kami bangkit untuk shalat. Aku berkata kepada beliau.” Berapa lama antara keduanya (sahur dan shalat subuh)?” Beliau menjawab, “Kira-kira orang membaca lima puluh ayat.” (HR. Muslim)
Baca juga :
- Arti Syawal Menurut Islam
- Niat dan Tata Cara Puasa Syawal
- Memaknai Ziarah Kubur dan Halal Bihalal
- Cara Lengkap Shalat Idul Fitri dan Bacaan Niatnya
- Suasana Lebaran Di Seluruh Dunia
- Lebaran dan Tradisi Baju Baru
Saat Ramadhan, keluarga juga harus dibiasakan untuk melakukan qiyamullail (bangun malam dan mengerjakan tarawih). Karena qiyamul-lail pada bulan Ramadhan merupakan waktu yang sangat tepat untuk memohon keberkahan dan keridhaan Allah. Membiasakan tadarus dan zkir juga sangat layak dilakukan saat mengarungi bulan yang penuh berkah ini. Kedua amalan ini sungguh ringan di bibir, namun amat berat timbangannya di hari kiamat. Rasulullah bersabda, “Bacalah al-Qur'an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pembela bagi yang membacanya.” (HR. Muslim)
Menjalani Ramadhan, juga akan sangat baik jika kita dapat mengajak keluarga untuk bersama-sama menyambut lailatul qadar. Kegiatan ini adalah tradisi Rasulullah. Seperti disebutkan dalam sebuah hadits dari Aisyah RA. “Bila masuk malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah menghidupkan malam membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya (tidak menggauli istri-istrinya).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Silaturahim
Selain terciptanya kebersamaan keluarga inti, sebenarnya keluarga besar lain seperti kakek-nenek, paman-bibi, keponakan-keponakan dan saudara-saudara lainnya juga bisa merasakan hal yang sama. Kegiatan buka bersama, shalat berjamaah, tadarus dan i'tikaf bisa di agendakan dengan melibatkan kehadiran mereka. Ayah-ibu bisa saja menggelar acara buka bersama dengan mengundang saudara-saudara lain datang ke rumah. Atau bisa saja sebaliknya, turut hadir dalam setiap kesempatan kumpul keluarga besar. Dengan kehadiran tersebut, maka ikatan silaturahim semakin terasa erat. Rasa keakraban dan kekerabatan pun makin kuat.
Silaturahim di lain sisi juga memperkecil rusaknya sebuah hubungan. Dengan seringnya bertemu muka, maka setiap orang akan mudah menciptakan komunikasi tanpa salah persepsi. Kuatnya silaturahim juga bisa mendatangkan peluang rezeki. Boleh jadi sebuah keluarga yang sedang 'ketiban'rezeki' rezeki berlebih akan mengucarkan kelebihan rezekinya kepada keluarganya yang kurang mampu. Tidak akan tega seorang saudara mementingkan urusan orang lain tanpa memprioritaskan saudara-saudaranya sendiri yang kesusahan. Demikian halnya hubungan antara orang tua anak yang sudah lama terpisah jarak. Momentum Ramadhan dan Lebaran bisa menjadi perekat hubungan yang mengendur.
Oleh karena itu, Ramadhan dan Lebaran yang sering diisi dengan kegiatan silaturahim menjadi wahana dalam meraih kesempatan-kesempatan emas tersebut. Media silaturahim ini juga jadi momentum orang tua mengajarkan anak-anak untuk tetap melestarikan hubungan kekeluargaan.
Oleh Sari Narulita
Labels:
Lebaran
Thanks for reading Menjaga Kebersamaan Pasca Lebaran. Please share...!
0 Comment for "Menjaga Kebersamaan Pasca Lebaran"