Sajadah Muslim ~ Pada suatu hari Rasulullah saw, mendengar seorang wanita sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya. Padahal wanita itu sedang menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Nabi Muhammad segera mengambil makanan dan menyodorkan kepadanya sambil berkata : “Makanlah!”
Perempuan itu menjawab: “Saya sedang berpuasa, ya Rasulullah” rasulullah saw, kemudian malah mengomentari,” Bagaimana mungkin engkau mengaku berpuasa, sementara telah kau maki-maki budakmu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah juga telah menjadikan puasa sebagai penghalang dari perbuatan tercela, maupun perkataan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya orang yang berpuasa, alangkah banyaknya orang yang menahan lapar saja.”
Sepenggal kisah di atas terjadi belasan abad yang lampau, namun selalu aktual sepanjang masa. Dilema yang sangat jamak terjadi di setiap bulan suci tiba, dimana manusia memang sering gagal mempuasakan lidahnya. Totalitas ubudiyah yang ditampilkan pada bulan suci Ramadhan sering kali tercoreng noda yang ditoreh oleh kejahatan lidah.
Lidah memang tak bertulang tetapi sanggup menjadi sumber bencana kemanusiaan yang sungguh mengerikan. Benang kusut pertikaian, permusuhan dan kesumat yang sangkut-menyangkut sepanjang zaman kebanyakan berawal dari bencana lidah. Karena ia mampu menembus segala yang tidak sanggup ditembus oleh tajamnya pisau. Luka yang dihasilkan lidah lebih perih dari sayatan sembilu. Jika satu bedil meledak satu nyawa bakal melayang, tapi bila lidah yang terlampau tajam, maka orang sekampung, senegara atau bahkan sedunia yang akan sengsara dan merana.
Bencana lidah lebih dahsyat dari pada bencana alam, karena ia mampu menerobos langsung ke wilayah paling sensitif dari kemanusiaan kita. Pertikaian atau kemelut kusut yang melilit bila ditelusuri sering berhulu pada keganasan lidah. Sehingga tanpa disadari kekerasan lidah telah membuat umat ini kehilangan keutuhan diri.
Ramadhan sebagai ‘kawah candra dimuka’ penggodokan pribadi Islam menawarkan variasi pilihan dalam hal penempaan kualitas diri, lahir maupun batin. Bukan hanya perjuangan menahan lapar dan dahaga, atau pameran ketangguhan dari aksi ‘mogok makan’. Pada level yang lebih tinggi kita dituntut bijaksana mempuasakan segenap anggota tubuh, teristimewa menahan lidah dari segala aktivitas negatifnya.
Bagi seorang pribadi mukmin sejati lebih memilih diam, ketimbang berbicara hal-hal yang tercela dan menimbulkan malapetaka. Sebagaimana tuntunan Rasulullah dalam haditsnya, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapakan perkataan yang baik atau cukup diam saja” (hadits).
Ironisnya, banyak orang berpuasa sekedar menutup mulut dari kemasukan makanan dan minuman. Sementara justru pada kesempatan lain mulutnya tetap menganga kala mengumbar fitnah, caci maki serta menghina orang. Ketika itu ternodalah statusnya sebagai tamu Allah di bulan suci ini, sekaligus kehilangan hak untuk merasakan nikmatnya ibadah puasa.
Oleh Imam Ghazali puasa lisan di sebut juga dengan puasa khusus, karena prakteknya lebih rumit ketimbang puasa perut. Disebutkan bahwa untuk mencapai derajat khusus ini ada dua perkara yang perlu dihindari, pertama, ‘laghw’ yaitu perkataan/perbuatan yang tidak ada manfaatnya, seperti ngobrol, ngalor ngidul tak tentu arah, pepesan kosong, bualan penuh tipuan dan sebagainya. Kedua, rafats yaitu perkataan yang keji dan kotor.
Di sela waktu luang menjelang saat berbuka datang, sementara orang yang mengaku berpuasa masih suka bergerombol untuk bergunjing, mendiskusikan lawan jenis, mengorek kekuranagn tetangga dan memposisikan diri seolah tanpa cacat cela. Sedikit sekali yang memilih berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang berguna atau memperbanyak zikir kepada Allah.
Sebaiknya di bulan suci ini bukan sekedar pelarangan pembukaan rumah makan, kafe dan tempat hiburan. Juga hendaknya dianjurkan para petualangan lidah harus berpuasa dari caci maki, mengorek aib lawan maupun kawan atau mengumbar janji-janji kosong. sekaligus dikampanyekan puasa lidah, dimana suami-istri tidak merasa perlu bertengkar perihal persiapan Lebaran yang mungkin sangat sederhana. Termasuk bagi para penceramah yang begitu indah merangkai kata perihal amalan yang berguna serta kebijaksanaan.
Sementara diri dan keluarganya jauh dari nilai-nilai ideal yang ia suguhkan buat jamaah. Berbahagialah orang yang menahan kelebihan bicaranya dan memberikan kelebihan hartanya. Serta celakalah orang yang sibuk dengan cacat cela orang lain sehingga membuatnya lupa dengan aib sendiri.
Sumber : Majalah Hidayah Penerbit PT. Variasari Malindo
Labels:
Puasa Zakat
Thanks for reading Puasa Lidah. Please share...!
0 Comment for "Puasa Lidah"