Sajadah Muslim ~ Sudah dimaklumi oleh umat Muslim, puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam. Terkecuali orang yang dalam perjalanan (safar), sakit, usia lanjut, serta hamil dan menyusui, seperti disinggung secara tegas dalam nash Al Quran. Akan tetapi bagaimana kasusnya dengan para pekerja berat. Di satu sisi, mereka harus tetap bekerja untuk menafkahi hidupnya dan keluarganya dimana pekerjaan berat itu merupakan satu-satunya penghasilan. Sementara di sisi lain, ada kewajiban untuk menunaikan puasa tersebut.
Mungkin tak masalah bagi para pekerja berat yang tetap bisa bekerja sekali pun tetap berpuasa. Sebaliknya menjadi problem serius bagi pekerja berat yang harus bekerja tapi tidak mampu menahan rasa lapar dan dahaga yang teramat sangat yang dikhawatirkan justru bisa membahayakan jiwa mereka ketika tetap memaksakan berpuasa. Di sinilah kearifan agama berperan. Ajaran agama bukanlah dogma kaku atau harga mati yang tak bisa ditawar. Tatkala ada kesulitan yang dihadapi manusia, agama selalu memberikan jalan keluar yang bijak. Di dalam menetapkan hukum, Allah swt selalu mempedulikan sisi kemanusiaan manusia bahkan menghendaki yang mudah dan sesuai dengan kemampuan manusia.
Ada Dispensasi
Nash Al-Quran menyebut bahwa orang berpuasa lebih baik ketimbang tidak berpuasa. Artinya selain puasa adalah bagian dari ibadah, menurut tinjauan medis puasa juga sangat baik untuk tubuh. Tak berlebihan kiranya jika Agus Mustofa dalam buku Scientific Fasting mengatakan bahwa puasa bukanlah sesuatu yang membebani orang melainkan sebuah kewajiban tap bukan sebuah keterpaksaan. Fungsinya persis seperti perawatan mobil. Bila rajin merawat secara berkala, maka kondisi mobil tetap bagus. Sebaliknya bila tidak dirawat sama sekali, akan mudah rusak.
Begitu pun dengan manusia, bila tidak pernah melakukan berpuasa sepanjang hidup, bisa dipastikan bakal mengalami problem kesehatan, baik fisik maupun psikis. Karena itu, tidak perlu cemas jika orang yang bekerja biasa (bukan pekerja berat) kemudian berpuasa akan mengakibatkan hal-hal yang fatal bagi kesehatan mereka. Justru dengan berpuasa, toksin-toksin yang ada dalam tubuh bisa keluar dan lemak-lemak akan terbakar.
Berbeda halnya dengan para pekerja berat yang harus bekerja ekstra keras. Mereka memerlukan tenaga serta ketahanan fisik tinggi selama bekerja. Dan jika mereka tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman yang cukup saat bekerja, dikhawatirkan bisa memperburuk kesehatannya. Padahal pekerja berat itu menjadi sumber penghasilan untuk menafkahi dirinya dan keluarganya. Untuk golongan para pekerja berat ini, mayoritas ulama berpendapat ada dispensasi bagi mereka.
Baca juga :
Menurut Malayu Hasibuan, sebagaimana dikutip oleh Huzaimah T. Yanggo dalam Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, yang dimaksud pekerja berat di sini adalah sejumlah aktivitas fisik dan mental yang berat dilakukan oleh seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan. Huzaimah menambahkan, jenis pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan berat ini bukan saja menyangkut pekerjaan bongkar muat barang, pekerjaan tambang, kegiatan-kegiatan dalam industri logam, dan pekerjaan kehutanan, melainkan termasuk pekerjaan buruh penggali tanah, pekerjaan buruh pembuat jalan, tukang becak dan sebagainya. Yang dijadikan tolok ukur adalah seberapa besar tenaga fisik yang dibutuhkan untuk mengerjakannya.
Dari pengertian di atas bisa dimaknai bahwa jika kondisi pekerjaan ringan yang tidak sampai menguras energi, tentu bukan alasan untuk meninggalkan puasa. Sebab alasan hukum diberikannya rukhshah bagi pekerja berat adalah kondisi darurat yang bisa membahayakan keselamatan mereka jika tetap berpuasa. Karena itu, orang yang bekerja biasa yang bila berpuasa tidak akan memberikan madharat (dampak buruk) apa-apa pada kondisi badannya tetap wajib berpuasa. Haus dan lapar adalah hal biasa dan bukan alasan untuk meninggalkan puasa, toh pada waktunya nanti akan mendapatkan kenikmatan luar biasa ketika waktu berbuka tiba.
Mengqadha atau Membayar Fidyah
Islam adalah agama yang memberikan keleluasaan bagi umatnya. Dalam keadaan tertentu, agama justru membolehkan seseorang tidak berpuasa. Ini adalah bentuk keringanan yang Allah swt berikan kepada umat Muhammad saw. Jika dinilai secara nyata bisa membahayakan keselamatan jiwa sehinggan makan dan minum menjadi wajib, maka agama pun memberikan keringanan bagi mereka yang ditimpa kondisi yang mengharuskan makan atau minum untuk tidak berpuasa.
Hanya saja kondisi ini sangat situasional dan tidak bisa dipukul rata. Karena keringanan itu diberikan sesuai dengan tingkat kesulitan. Semakin besar kesulitan, maka semakin besar pula keringanan yang diberikan. Sebaliknya, semakin ringan tingkat kesulitan, maka semakin kecil pula keringanan yang diberikan. Allah swt telah berfirman, “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah : 173)
Kaidah fiqih pun menyatakan, bila tingkat kesulitan suatu masalah itu luas (ringan), maka hukumnya menjadi sempit (lebih berat). Dan bila tingkat kesulitan suatu masalah itu sempit (sulit), maka hukumnya menjadi luas (ringan). Atas dasar inilah mereka yang berprofesi sebagai pekerja berat dan ada kekhawatiran bila puasanya akan mencelakakan dirinya, mereka diberikan dispensasi boleh tidak berpuasa. Dalam fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq pun menegaskan bahwa orang-orang yang mempunyai pekerjaan berat yang tidak mendapatkan pekerjaan lain selain dari yang mereka lakukan itu, termasuk orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa.
Keringanan ini sama seperti tentara Muslim yang sedang bertugas di medan perang, mereka memerlukan tenaga serta fisik yang prima agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai pembela negara. Namun sebelumnya harus berniat puasa serta makan sahur seperti biasa. Pada siang hari bila ternyata masih kuat untuk meneruskan puasa, wajib untuk meneruskan puasa. Sedangkan bila tidak kuat dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka.
Kendati pun para pekerja berat mendapatkan dispensasi boleh meninggalkan puasa Ramadhan, namun tidak serta merta mereka terbebas sama sekali. Ada kewajiban pengganti yang harus mereka tunaikan ketika tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Pertama, jika pekerja berat yang kontinyu (terus menerus), artinya pekerja berat yang kerja berat tiap hari sehingga tidak memiliki waktu luang untuk mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkannya, maka mereka wajib membayar fidyah (yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya sebanyak satu mud (3/4 liter) makanan pokok. Mereka disamakan dengan orang yang dibolehkan meninggalkan puasa karena lanjut usia.
Kedua, pekerja berat yang sifatnya temporer (sewaktu-waktu), yaitu pekerja berat yang masih memiliki kesempatan untuk mengqadha sesuai masa kerjanya. Kelompok kedua ini wajib mengqadha sesuai masa kerjanya. Kelompok kedua ini wajib mengqadha puasanya di waktu lain. Meskipun ada dispensasi bagi para pekerja berat namun jika mampu berpuasa, baginya lebih utama berpuasa. Sebaliknya jika berpuasa terasa berat dilakukan dan justru membahayakan kondisinya, maka lebih utama tidak usah berpuasa, tetapi harus mengqadha atau membayar fidyah.
Dikutip dari berbagai sumber.
0 Comment for "Puasa Bagi Pekerja Berat"