Sajadah Muslim ~ Berpuasa itu tidak hanya sekedar menahan makan dan minum. Sering kita mendengar nasehat-nasehat seperti itu, terkhusus di bulan suci ramadhan, bulan penuh limpahan barakah. Sebuah nasehat yang ringan untuk diucapkan, namun sangat berat untuk diamalkan. Demikianlah, sebuah amalan yang akan mengantarkan seorang mukmin meraih predikat takwa ini, tidak cukup dilakukan hanya dengan asal tidak makan dan minum saja, tanpa memperhatikan adab dan etika puasa yang telah dituntunkan syariat yang agung ini.
Begitu besar pahala yang Allah swt janjikan untuk hamba-Nya yang berpuasa, juga menjadikan puasa itu sendiri sebagai benteng dari api neraka, sangat berat untuk ditunaikan dengan sempurna jika tidak mengikuti rambu-rambu syar’I yang telah digariskan oleh Allah swt dan Rasul-Nya saw. Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari sisi Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Begitu besar pahala yang Allah swt janjikan untuk hamba-Nya yang berpuasa, juga menjadikan puasa itu sendiri sebagai benteng dari api neraka, sangat berat untuk ditunaikan dengan sempurna jika tidak mengikuti rambu-rambu syar’I yang telah digariskan oleh Allah swt dan Rasul-Nya saw. Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari sisi Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Ini rambu pertama yang harus dilalui, seorang muslim hendaknya membangun ibadah puasanya di atas pondasi iman yang benar dan niat yang ikhlas untuk mendapatkan pahala dan keutamaan dari Allah swt, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan tetangganya yang sedang berpuasa. Termasuk berpuasa dengan niat untuk menjaga kesehatan atau menjaga berat badan supaya tetap ideal, ini semua merupakan niatan yang hendaknya dibuang jauh-jauh.
Rambu berikutnya yang mesti dilalui adalah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi saw dalam sabdanya : “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, beramal dengannya, dan tindakan bodoh, maka Allah tidak membutuhkan usaha dia dalam meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Al-Bukhari).
Maksud dari hadits ini adalah jika seorang yang berpuasa tidak bisa menjaga lisan dan anggota badannya dari ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah swt tidak akan memberikan pahala atas puasanya, meskipun selama sehari penuh dia menahan lapar dan dahaga. Walaupun setiap hari dia juga banyak melakukan shadaqah dan membaca Al Quran, namun dia tidak menjauhkan diri dari perkataan kotor dan perbuatan keji, maka puasa yang dia lakukan tidak akan bernilai di sisi Allah swt. Sehingga upaya untuk memperbanyak amal kebajikan harus berjalan beriringan dengan upaya untuk membersihkan diri dari segala bentuk kemungkaran. Tidak bisa dipisahkan antara keduanya.
Puasa Ramadhan Mengantarkan Kepada Al-Jannah
Suatu ketika, ada seseorang yang datang kepada Nabi saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku kerjakan, aku akan masuk al-jannah (surga).” Maka Rasulullah saw bersabda : “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, engkau menegakkan shalat fardhu, menunaikan zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, Nampak bahwa ibadah puasa Ramadhan yang akan mengantarkan pelakunya kepada pintu al-jannah adalah manakala amalan puasanya tersebut juga diiringi dengan :
Dari hadits di atas, Nampak bahwa ibadah puasa Ramadhan yang akan mengantarkan pelakunya kepada pintu al-jannah adalah manakala amalan puasanya tersebut juga diiringi dengan :
- Beribadah kepada Allah swt dan tidak menyekutukan-Nya (tidak berbuat syirik).
- Menegakkan shalat fardhu lima waktu.
- Menunaikan zakat, baik zakat mal (harta) maupun zakat fitrah.
Disamping memaksimalkan nilai ibadah puasa dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan kemungkaran, seorang muslim hendaknya juga menjalankan beberapa ketaatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Dan inilah sesungguhnya amal shalih yang paling besar karena amalan-amalan tersebut termasuk rukun Islam. Puasa Ramadhan tidaklah bermanfaat kalau satu saja dari amalan-amalan ketaatan tersebut ditinggalkan.
Ramadhan Bukanlah Momen untuk Beristirahat dari Maksiat
Sebagian orang menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai momen untuk beristirahat dari berbagai maksiat yang biasa dia lakukan di luar bulan Ramadhan. Namun, ternyata dibenaknya masih ada niatan untuk mengulangi lagi kebiasaan jelek tersebut selepas ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimullah menjelaskan, “Orang yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan, dan di antara niatnya adalah akan mengulanginya lagi pada selain bulan Ramadhan, maka dia termasuk orang yang terus-menerus (berbuat maksiat itu) juga.” (Majmu’ Fatawa).
Yang demikian itu disebabkan karena di antara syarat taubat adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sehingga apabila seseorang telah meninggalkan suatu perbuatan maksiat, namun masih ada padanya keinginan dan tekad untuk mengulanginya lagi, maka dia belum dikatakan orang yang jujur dan sungguh-sungguh dalam taubatnya.
Yang demikian itu disebabkan karena di antara syarat taubat adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sehingga apabila seseorang telah meninggalkan suatu perbuatan maksiat, namun masih ada padanya keinginan dan tekad untuk mengulanginya lagi, maka dia belum dikatakan orang yang jujur dan sungguh-sungguh dalam taubatnya.
Baca juga :
- Jima Di Siang Hari Bulan Ramadhan
- Kenapa Wanita Hamil dan Menyusui Boleh Tidak Berpuasa
- Kenapa Makan dan Minum Terlarang Di Siang Hari Ramadhan
- Definisi dan Kedudukan Puasa Ramadhan
- Amalan Rasulullah Ketika Berpuasa
Allah swt menyebutkan beberapa sifat orang yang bertakwa dalam surat Ali Imran ayat 133-136, di antaranya adalah : “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran : 135).
Hadits-Hadits Lemah dan Palsu yang Sering Disebut di Bulan Ramadhan
Sangat banyak hadits yang menyebutkan keutamaan bulan Ramadhan dan puasa pada bulan itu. Namun, tidak sedikit dari hadits-hadits tersebut dha’if (lemah), yang tidak bisa dijadikan sandaran (dalil) dalam syariat ini, atau bahkan maudhu’ (palsu), yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.
Yang sangat disayangkan adalah ternyata hadits-hadits yang lemah dan palsu tersebut sudah menyebar dan dikenal di tengah-tengah masyarakat muslimin, yang mereka yakini itu adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Padahal, Nabi saw telah memperingatkan umatnya dari perbuatan berdusta atas nama beliau saw, yakni menisbatkan suatu perkataan kepada Rasulullah saw, padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Beliau saw bersabda : “Barangsiapa yang mengatakan atas namaku, apa-apa yang tidak pernah aku katakana, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari). Di antara hadits-hadits palsu tersebut adalah :
Hadits Pertama : “Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu (keutamaan) yang ada pada bulan Ramadhan, maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.” (Hadits maudhu’/palsu).
Hadits tersebut di atas adalah hadits maudhu’ (palsu), (Lihat dalam kitab : Al La’ali al Mashnu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 2/84, al Fawa’id al Majmu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 1/88, Al Maudhu’at Li Ibni al Jauzi: 2/189).
Sebabnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Jarir bin Ayyub, dia ini adalah seorang perawi yang sangat lemah (dhaif jiddan) dan dia meriwayatkan hadits tersebut sendirian tanpa ada yang menyertainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab beliau Al Mathalib: 1/274.
Hadits Kedua : “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” (hadits dhaif/lemah). Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil/dasar karena terdapat kelemahan di dalamnya. (Lihat Tadzkiratul Maudhu’at, hal: 70, Al Maudhu’at lish Shaghani, hal: 72, dan Al Mughni’an Hamli al Asfar: 2/754).
Sebab lemahnya hadits tersebut adalah adanya seorang perawi yang bernama Zuhair bin Muhammad bin Abi Shalih. Jika yang meriwayatkan hadits dari dia orang-orang Syam maka haditsnya lemah, dan salah satunya hadits ini. (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 1/420).
Hadits Ketiga : “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (hadits dhaif/lemah).
Hadits tersebut lemah karena ada perawi yang bernama Sallam bin Sawwaar dan Maslamah bin Ash Shallat, berkata Ibnu ‘Adi tentang Sallaam, “Dia menurutku haditsnya mungkar, dan Maslamah tidak dikenal.” Abu Hatim mengatakan tentang Maslamah, “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak diambil). (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dhaifah: 4/70). Wallahu a’lamu bish shawab.
Referensi :
http://mahad-assalafy.com/2014/07/14/meraih-keutamaan-ramadhan-dengan-banyak-beramal-shalih/
Yang sangat disayangkan adalah ternyata hadits-hadits yang lemah dan palsu tersebut sudah menyebar dan dikenal di tengah-tengah masyarakat muslimin, yang mereka yakini itu adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Padahal, Nabi saw telah memperingatkan umatnya dari perbuatan berdusta atas nama beliau saw, yakni menisbatkan suatu perkataan kepada Rasulullah saw, padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Beliau saw bersabda : “Barangsiapa yang mengatakan atas namaku, apa-apa yang tidak pernah aku katakana, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari). Di antara hadits-hadits palsu tersebut adalah :
Hadits Pertama : “Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu (keutamaan) yang ada pada bulan Ramadhan, maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.” (Hadits maudhu’/palsu).
Hadits tersebut di atas adalah hadits maudhu’ (palsu), (Lihat dalam kitab : Al La’ali al Mashnu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 2/84, al Fawa’id al Majmu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 1/88, Al Maudhu’at Li Ibni al Jauzi: 2/189).
Sebabnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Jarir bin Ayyub, dia ini adalah seorang perawi yang sangat lemah (dhaif jiddan) dan dia meriwayatkan hadits tersebut sendirian tanpa ada yang menyertainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab beliau Al Mathalib: 1/274.
Hadits Kedua : “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” (hadits dhaif/lemah). Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil/dasar karena terdapat kelemahan di dalamnya. (Lihat Tadzkiratul Maudhu’at, hal: 70, Al Maudhu’at lish Shaghani, hal: 72, dan Al Mughni’an Hamli al Asfar: 2/754).
Sebab lemahnya hadits tersebut adalah adanya seorang perawi yang bernama Zuhair bin Muhammad bin Abi Shalih. Jika yang meriwayatkan hadits dari dia orang-orang Syam maka haditsnya lemah, dan salah satunya hadits ini. (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 1/420).
Hadits Ketiga : “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.” (hadits dhaif/lemah).
Hadits tersebut lemah karena ada perawi yang bernama Sallam bin Sawwaar dan Maslamah bin Ash Shallat, berkata Ibnu ‘Adi tentang Sallaam, “Dia menurutku haditsnya mungkar, dan Maslamah tidak dikenal.” Abu Hatim mengatakan tentang Maslamah, “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak diambil). (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh-Dhaifah: 4/70). Wallahu a’lamu bish shawab.
Referensi :
http://mahad-assalafy.com/2014/07/14/meraih-keutamaan-ramadhan-dengan-banyak-beramal-shalih/
Labels:
Pendidikan Islam,
Puasa Zakat
Thanks for reading Meraih Keutamaan Ramadhan Dengan Banyak Beramal Shalih. Please share...!
0 Comment for "Meraih Keutamaan Ramadhan Dengan Banyak Beramal Shalih"