Sajadah Muslim ~ Dasar awal pelaksanaan ibadah haji adalah mampu secara fisik dan finansial. Selagi seorang Muslim mampu atas keduanya, ia tidak boleh mewakili ibadah hajinya kepada orang lain sama sekali. Inilah kesepakatan para ulama. Bahkan ada pendapat yang sahih menyebutkan untuk haji yang sunnah pun tidak boleh digantikan dengan alasan apapun. Firman Allah swt, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran : 97)
Benar, haji merupakan satu bentuk ibadah yang melibatkan fisik dan materi. Selain dalam pelaksanaannya ada tawaf, sa’i, ada melempar jumrah, juga butuh harta sebagai biaya perjalanannya dan keperluan lainnya. Umumnya, ibadah yang bersifat fisik tidak ada perwakilan di dalamnya. Semua tata cara dan pelaksanaannya harus dilakukan oleh masing-masing personal. Shalat misalnya, tak boleh seorang pun yang bisa mewakilkan bahkan dalam kondisi fisik teramat payah. Solusi agama, jika tak mampu dengan sendiri, bisa dengan duduk, dan bisa dengan telentang jika benar-benar tak memungkinkan lagi untuk duduk. Bahkan bisa tetap dengan kedipan mata bila sudah tak bisa apa-apa asal nyawa masih dikandung badan.
Alangkah lucunya jika semua bentuk ibadah fisik bisa diganti oleh orang lain. Bila ini terjadi, maka akan ada bisnis ibadah. Orang kaya dengan uangnya bisa dengan mudah memperkerjakan orang untuk menggantikan ibadahnya, sementara ia sendiri bisa melenggang terbebas dari kewajibannya. Dan akibatnya taklif bagi orang-orang Muslim yang sudah mukallaf bersifat diskriminatif. Satu-satunya ibadah fisik yang boleh diwakilkan hanyalah haji. Itu pun dengan persyaratan yang ketat, tidak boleh mengada-ada. Siapakah yang mendapat dispensasi untuk diwakili hajinya? Jawabannya adalah orang tua yang mampu secara finansial namun benar-benar lemah fisiknya, orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya serta orang yang sudah meninggal.
Mereka yang telah memenuhi semua syarat haji dari segi materi, tetapi lemah untuk melakukannya sendiri secara langsung karena tua atau diserang penyakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, maka kewajiban untuk melaksanakannya secara langsung gugur. Demikianlah kesepakatan ulama mazhab, berdasarkan firman Allah, “.....Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan....” (QS. Al-Hajj : 78).
Boleh Diwakilkan
Dalam sebuah riwayat, ada seorang perempuan yang bertanya kepada Nabi saw. Perempuan tersebut mempunyai ayah yang sudah wajib menunaikan haji tetapi tidak dapat menunaikannya karena telah renta. Sebelum menunaikan kewajibannya, ayahnya meninggal dunia. Wanita itu bertanya, “Bolehkah menghajikannya (berhaji untuknya)?” Beliau menjawab, “Boleh dan hajikanlah untuknya!”
Ada riwayat lain dari Ibnu Abbas, “Seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku melakukan ibadah haji untuknya?” Jawab Rasulullah, “Ya, berhajilah untuknya.” (HR. Bukhari Muslim).
Kemudian ada riwayat lagi, seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw dan bertanya, “Rasulullah, ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji. Hingga beliau meninggal, beliau belum melaksanakan ibadah haji tersebut. Apakah aku bisa menghajikannya?” Rasulullah menjawab, “Hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya. Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” (HR. Bukhari & Nasa’i).
Riwayat-riwayat di atas jelas mengisyaratkan tentang kebolehan badal (mewakilkan) haji dalam kondisi-kondisi darurat. Siapa yang menjadi badal (pengganti), bisa siapa saja. Baik anak wanita atau anak laki-laki dapat menghajikan orang tuanya atau mewakilkannya kepada orang lain untuk menghajikannya, dengan catatan harus berangkat dari negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini juga diamini oleh Sayyid Sabiq. Wanita boleh menggantikan laki-laki maupun wanita dan sebaliknya laki-laki dapat pula mewakili wanita atau laki-laki.
BACA JUGA :
- Kewajiban Bagi Yang Sedang Berihram
- Cara Berziarah ke Masjid Nabawi
- Rukun-Rukun Haji
- Tata Cara Sebelum Melakukan Ihram
- Kewajiban-Kewajiban Saat Berhaji
- Tempat Utama Dalam Ibadah Haji
Akan tetapi secara spesifik, para imam mazhab memberi catatan soal badal haji ini. Mazhab Hanafi mengatakan, siapa pun orangnya yang telah memiliki kesanggupan untuk pergi haji namun karena kondisi fisiknya yang renta hingga tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji, wajib baginya mencari pengganti untuk menghajikannya. Bila sakitnya kemungkinan sudah disembuhkan, duduk di kendaraan pun tak mampu seperti disinggung dalam hadits, wajib baginya meninggalkan wasiat agar dihajikan. Demikian halnya Syafi’i, hanya saja Syafi’i menambahkan bahwa orang yang telah meninggal dunia dan belum melaksanakan ibadah haji, ahli warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ditinggalkan. Kewajiban ini melekat ketika harta yang ditinggalkan lebih dari cukup untuk ongkos haji setelah hutangnya terbayarkan (jika ada).
Karena itu, menurut Syafi’i dan Hambali, kesanggupan melaksanakan ibadah haji terbagi menjadi dua. Pertama, kemampuan langsung (sehat fisiknya dan cukup materi). Kedua, kemampuan tidak langsung yakni orang-orang yang materinya berkecukupan untuk berangkat haji, namun fisik tidak memungkinkan melakukan perjalanan dan melaksanakan rukun-rukunnya (renta dan sakit parah). Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji, baik sendiri maupun melalui badal. Akan tetapi Maliki sedikit berbeda. Ia mengatakan bahwa menghajikan orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Memang bagi orang yang telah meninggal, sah menghajikannya asalkan telah mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan.
Sejumlah Poin Penting
Ada hal penting yang perlu diperhatikan saat mem-badal-kan haji di samping sejumlah syarat seperti dijelaskan di muka. Pertama, niat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram. Kedua, harta yang digunakan adalah milik orang yang dihajikan tersebut.
Ketiga, orang yang menghajikan harus sah melaksanakan ibadah haji, bahwa yang mewakili di sini adalah Muslim, akil baligh, sehat fisik, serta amanah. Keempat, orang yang menghajikan sudah melaksanakan ibadah haji lebih dulu. Seorang anak yang pernah berhaji disunnahkan menghajikan orang tuanya yang telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Dalam sebuah hadits, Rasulullah berkata kepada Abu Razin, “Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah !”
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usahamu.” (HR. Abu Daud). Dari sini jelas, anak merupakan amalan orang tua. Di samping itu juga sebagai pelanjut setelah ia meninggal dunia. Tentu kita masih ingat, doa dan amalan anak shaleh akan sampai kepada orang tuanya ketika mereka sudah meninggal. Oleh karena itu, anak yang shaleh sangat dianjurkan untuk mewakilkan haji orang tuanya ketika fisik mereka tak memungkinkan atau memderita sakit yang sulit disembuhkan.
Kesimpulannya, selalu ada jalan keluar bagi orang untuk tetap menjalankan haji dalam kondisi apapun. Memang pada kondisi normal, tak satu pun yang bisa menghindar dari kewajiban untuk menjalankan secara personal dan langsung. Tetapi dalam kondisi darurat (sakit atau renta) ada pengecualian dalam pelaksanaannya, yakni jalan badal.
Referensi : Berbagai Sumber.
Labels:
Ibadah Haji
Thanks for reading Badal Haji Untuk Orang Lain. Please share...!
0 Comment for "Badal Haji Untuk Orang Lain"