Sajadah Muslim ~ Bila anda memutuskan membeli rumah secara kredit, mungkin inilah perjanjian hutang piutang terbesar dan terpanjang dalam sejarah hidup anda. Karena biasanya cicilan kreditnya berkisar 8 tahun hingga 15 tahun.
Keputusan mengambil rumah secara kredit ini bisa dimaklumi lantaran harga rumah mahal dan semakin mahal, susah sekali dibayar dengan uang kontan bila hanya mengandalkan penghasilan dari pekerjaan bulanan seperti karyawan biasa. Tidak hanya orang yang bisa membeli rumah secara kontan apalagi di perkotaan, dimana harga kavling serta perumahan terus melambung.
Alasan lain, kalau pun punya uang sebesar untuk membeli rumah secara kontan, orang berpikir untuk mengelola uang yang ada untuk membuka atau mengembangkan usaha yang akan digelutinya demi jaminan dari depan yang mungkin lebih menjanjikan. Dan orang akhirnya menjatuhkan pilihan secara kredit meski tidak semua orang yang mengajukan kredit ke Bank penyelenggara KPR (Kredit Pemilikan Rumah) bisa disetujui karena Bank harus menganalisa penghasilan, hutang atau kewajiban yang berjalan, sejarah hutang, keberlangsungan usaha dari orang yang mengajukan KPR terlebih dahulu. Tulisan ini mendedah jual beli secara kredit dalam kacamata agama. Bolehkah jual beli secara kredit dalam Islam ? Bagaimana pula jika harga kredit lebih tinggi melebihi harga tunai ?
Syariah Membolehkan
Bila diklasifikasi, transaksi jual beli ada tiga bentuk. Pertama, ada jual beli secara tunai. Transaksi ini terjadi jika barang dan harga diserahterimakan pada saat akad. Kedua, jual beli salam (pesanan). Harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu sesuai pesanan. Ketiga, jual beli kredit. Barang diserahkan pada saat akad, sedangkan harganya dibayar setelah tempo tertentu sesuai kesepakatan, baik sekaligus atau dicicil.
Dalam bahasa Indonesia, pengertian kredit adalah cara penjualan barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Jual beli kredit (sell or buy on credit) dalam bahasa Arabnya disebut Ba’ bi ad-dayn wa bit-taqsith yang pengertiannya adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal dari pada pembayaran kontan.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama Internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementerian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi dari pada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas.
Alasan pembolehan transaksi secara kredit juga bisa dikemukakan. Pertama, asal dalam setiap muamalah adalah halal dan boleh karena tidak ada nash yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan dan harga kredit, lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli dengan cara kredit adalah halal berdasarkan kaidah ini.
Kedua, Firman Allah swt, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama suka di antara kamu” (QS. An-Nisa : 29). Sebagaimana kita ketahui, jual beli secara kredit adalah transaksi yang berlangsung atas dasar kesepakatan (suka sama suka) antara pihak penjual dan pembeli. Ini berarti jual beli secara kredit adalah boleh menurut nash ayat. Dalam ayat lain, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282).
Namun ada ketentuan-ketentuan yang mesti diperhatikan dalam transaksi jual beli secara kredit. Pertama, harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli. Kedua, pembayaran cicilan disepakati oleh kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktik bai’ gharar. Ketiga, harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba. Keempat, seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku. Dengan demikian, selagi jual beli kredit memenuhi ketentuan syariah, maka dapat dibenarkan.
Dua Harga Satu Akad
Biasanya dalam sebuah transaksi, ada dua harga yang seringkali diajukan oleh penjual dan sering pula ditanyakan pembeli. Dua harga itu adalah harga barang kontan dan harga kredit. Tentu saja, harga kredit lebih mahal ketimbang harga kontan lantaran pembayarannya melalui jangka waktu tertentu.
Karena patokannya asalkan jual beli dilandasi sifat saling rela antara pihak pembeli dan penjual, maka membuat dua harga tersebut tidak terlarang. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya jual beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli)” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Oleh karena itu, seorang penjual berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pembeli berhak melakukan tawar menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai atau pun kredit. Hanya saja, pembolehan dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual beli, harus satu harga.
Contohnya, penjual rumah mengatakan, “Rumah ini harga tunainya Rp 120.000.000,- , kalau kredit dengan jangka 10 bulan Rp 135.000.000,-. Per bulannya Rp 13.500.000,-“, kemudian pembeli menjawab, “Baiklah. Saya beli melalui kredit 10 bulan saja, tiap bulannya Rp 13.500.000,-, maka jual beli semacam ini sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual beli itu terjadi tetap dalam satu harga saja.
Berbeda jika pembeli menjawab, “Baik, saya setuju,” atau, “Baik, saya beli.” Kalau seperti itu kasusnya, jual beli ini tidak sah, karena yang disepakati dalam akad ada dua harga. Pembeli tidak memutuskan salah satu dari harga tersebut. Rasulullah melarang transaksi yang kedua ini. Ibn Ma’sud mengatakan, “Rasulullah saw telah melarang dua transaksi dalam satu akad” (HR. Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani).
Bagaimana dengan kredit plus bunga sebagaimana dipraktikkan oleh bank-bank konvensional ? Apabila dalam jual beli kredit terdapat kenaikkan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba. Cara menyiasatinya jika terpaksa membeli secara kredit yang menerapkan sistem bunga, maka harus yakin mampu mencicil dan melunasi tepat waktu tanpa terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari pembayaran uang riba yang diharamkan agama. Ini berdasarkan prinsip fiqih ‘saddudz dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi riba sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud, “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengingat begitu rentannya sistem kredit di bank-bank konvensional dengan unsur riba, para ulama memberikan solusi yang cukup cerdas dengan sistem murabahah seperti dipraktikkan dalam bank-bank syariah. Akad murababah ini mirip dengan akad dalam jual beli. Ada proses transaksi pertukaran barang dengan uang, dimana pembayarannya dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu dengan besaran total pembayaran yang tetap.
Dalam perjanjian pun diperkenankan adanya biaya administrasi, bonus ataupun sanksi. Dalam hal ini, bonus dan sanksi tidak bisa disamakan dengan bunga. Karena bunga dalam kredit konvensional merupakan pertambahan nilai dari nilai pokok pinjaman, dan ini jelas riba dan diharamkan. Sedangkan sanksi lebih ditekankan pada denda. Misalnya Keterlambatan pembayaran, sehingga dengan adanya sanksi ini, debitor akan berusaha menepati janji pembayarannya. Begitu pula bonus keringanan pembayaran hutang apabila melunasi sebelum jangka waktu pelunasan. Semua itu mesti dijelaskan dengan jelas pada saat akad antara kedua belah pihak.
Misalnya berupa KPR, lebih tepatnya KPR syariah. Bank penyedia KPR membeli rumah dari developer dengan harga tertentu, misalnya 150 juta rupiah. Kemudian bank tersebut menjual kepada pembeli dengan harga 240 juta rupiah, dicicil selama 10 tahun, sehingga pembeli membayar sejumlah 2 juta tiap bulannya selama 10 tahun. Berbeda dengan praktik KPR konvensional, dimana bank akan menetapkan cicilan pada satu tahun pertama dengan nilai tetap, sedangkan di tahun berikutnya akan berubah sesuai dengan kondisi/fluktuasi di tahun tersebut. Ada pertambahan nilai yang didasarkan pada bunga, alias riba.
Referensi : Berbagai Sumber.
Labels:
Pendidikan Islam,
Seputar-Islam
Thanks for reading Jual Beli Secara Kredit. Please share...!
0 Comment for "Jual Beli Secara Kredit"